Saumlaki adalah ibukota Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB) yang mencakup seluruh kepulauan Tanimbar. Kabupaten ini tergolong baru berdiri, setelah berpisah dengan Kabupaten Maluku Tenggara di tahun 2002. Geliat perekonomian belum terlalu terlihat. Hanya ada sedikit toko, restoran dan penginapan di dekat pelabuhan.
Pelabuhan di Saumlaki sering disandari oleh kapal-kapal dari Australia. Terutama pada kegiatan Sail Darwin-Saumlaki yang diadakan setiap setahun sekali. Biasanya para peserta acara tersebut turun dan menyinggahi pantai dan desa-desa di sekitar Saumlaki. Salah satu desa yang menjadi tujuan adalah desa Tumbur. Desa ini terkenal akan kerajinan patung kayunya.
Dengan jarak 18 km dari pusat kota Saumlaki ke arah utara, kita bisa mendapati desa Tumbur yang berada pesisir timur. Kerajinan patung di desa ini merupakan industri rumah tangga. Di hampir setiap rumah terlihat kegiatan membuat patung, yang dilakukan baik oleh orang-orang tua maupun para pemuda. Bahan yang mereka gunakan untuk pembuatan patung ini adalah kayu hitam yang mereka ambil di hutan. Dengan bentuk berwujud manusia yang sedang duduk, berdiri dan manusia di atas perahu, biasanya patung-patung mereka poles dengan semir sepatu supaya warna hitam kayu menjadi mengkilat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain desa Tumbur, terdapat sebuah desa yang terkenal dengan peninggalan sejarahnya. Di desa Sangliat Dol terdapat sebuah bangunan terbuat dari batu yang bentuknya menyerupai perahu. Bangunan ini sudah ada sebelum penduduk pertama desa ini datang. Ketika menempati desa ini, mereka membangun rumah menurut arah dari setiap elemen yang ada di bangunan perahu batu. Setiap marga di desa ini mewakili setiap tiang yang ada di sekeliling bangunan. Menjadikan situs ini sebagai pusat dari pola pembangunan desa.
Bangunan perahu batu dianggap sangat penting bagi masyarakat desa. Tidak sembarangan orang dapat menaiki bangunan atau bahkan memfotonya. Setiap pengunjung yang datang harus melapor kepada tuan tanah desa untuk dibacakan mantra dan doa supaya kegiatan berjalan lancar. Untuk itu pengunjung harus menyediakan sebotol sopi (minuman beralkohol tradisional) dan uang 50 ribu rupiah untuk diberikan kepada tuan tanah.
Setelah mantra dan doa dibacakan, sedikit bagian sopi dibuang ke tanah, ditujukan bagi para roh leluhur. Lalu setiap tamu akan diberikan dalam jumlah sedikit. Sisanya diberikan kepada para pemuda desa tentunya. Masyarakat desa percaya apabila ritual tidak dilaksanakan, maka akan terjadi sesuatu pada para tamu, seperti tersesat dan tidak dapat menangkap gambar bangunan perahu batu apabila difoto.
Komentar Terbanyak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Viral Keluhan Traveler soal Parkir Jakarta Fair 2025: Chaos!