Di Jambi ada satu destinasi yang ngehits di kalangan pegowes sepeda. Namanya Oemah Kayu Embun. Selain cantik, suasananya juga alami banget. Seperti apa ya?
Perjalanan Kami mengayuh sepeda dari Pusat Kota Sungai Penuh sejak pagi. Karena tahu rute yang dilewati akan lumayan menantang, jadi kami siapkan saja lebih banyak waktu ekstra jika sewaktu-waktu harus beristirahat lebih lama.
Tujuan kami hari itu adalah Oemah Kayu Embun di desa Renah Kayu Embun, Kota Sungai Penuh, Jambi, salah satu desa pertanian yang berada di atas barisan bukit barisan yang mengelilingi lembah Kerinci.
Seperi biasa rutinitas bersepeda sudah jadi agenda mingguan komunitas sepeda Mamook Bikes. Namun kali ini agak berbeda, kami bekerjasama dengan teman-teman dari Kabar Baik Kerinci, berencana mengadakan kegiatan menginap bersama di Oemah Kayu Embun.
Rute dari pasar Sungai Penuh menuju Renah Kayu Embun sangat menantang, karena selain tanjakan sepanjang jalan, di bagian kanan jalan juga merupakan tebing yang curam, dengan jalan yang berkelok.
Namun sepanjang jalan yang kami melewati merupakan hutan yang subur dengan pemandangan hijau, belukar, kayu pinus, kebun-kebun kopi dan hutan-hutan lebat yang tempat hidup aneka burung hutan.
Dua jam perjalanan santai, sampai juga kami di Puncak Bukit Khayangan. Maka berikutnya pemandangan pucuk-pucuk bukit sudah seperti riak ombak sepanjang jalan, hijau dan sejuk. Berikutnya adalah jalan menurun untuk menuju ke Oemah Kayu Embun.
Oemah Kayu Embun
Sekitar 15 menit dari bukit khayangan kami sudah disambut sebuah gapura besar di pinggir kiri jalan yang menjadi penanda bahwa kami telah sampai di Oemah Kayu Embun.
Dua buah rumah panggung berdiri didalam kebun yang agak menjorok ke atas, satu rumah berdinding papan dengan teras depan yang luas, sementara rumah satunya yang bersebelahan terkesan lebih unik, dengan material kayu manis dan atap rumbia.
Bagian atasnya terbuka, berupa beranda ukuran 3x7 meter. Sekatnya berupa kayu-kayu yang dideretkan agak renggang, dengan lantai papan.
Sementara bagian bawahnya lebih berupa bar kecil yang unik berdinding ranting kayu yang disilang-silangkan. Konsep lantainya berupa kombinasi potongan-potongan kayu yang dipotong-potong kecil seperti mozaik.
Ketika naik ke beranda atasnya jelas sekali kesan vintage mempengaruhi konsep rumah ini. Kursi jadul dari rotan dan sebuah meja dari batang pohon besar yang diambil di dalam hutan serasi dengan rumah.
Oemah Kayu Embun sendiri merupakan salah satu tempat wisata baru di RKE (Renah Kayu Embun). Tempat ini merupakan area perkebunan cabe, kayu manis, kopi dan aneka ragam sayuran.
Sore sudah menjelang, sekitar jam 16.30 setelah ashar, langit yang tadinya sendu penanda hujan mulai bergerak perlahan menutup puncak Gunung Raya yang sedari tadi bersembunyi.
Kami duduk di selasar Oemah Kayu Embun yang langsung menghadap ke Gunung Raya, sambil menikmati secangkir kopi yang sudah dihidangkan, salah satu menu khas Oemah Kayu Embun, yang bahannya langsung diambil dari dalam kebun. Ketika dituang ke dalam gelas asapnya mengepul dan aroma rempah langsung menyeruak memenuhi beranda.
Pemandangan Sekitar
Selain menyajikan pemandangan hijau dan asri, kita juga bisa berkeliling di area Oemah Kayu Embun. Di belakang rumah, ada kebun cabe yang mulai tumbuh, serta pohon kayu manis yang berjejer ke atas bukit.
Menyusuri jalan kecil di kebun ini kita bisa menemukan aneka ragam tanaman yang ditanam pemilik kebun: bawang, terong, aneka sayuran dan labu siam yang merambat di atas pondok kecil di sebelah barat.
Jika ingin mencari aktivitas, kita bisa ikut memetik beberapa buah yang sudah matang di dalam kebun, tentunya dengan meminta izin terlebih dahulu.
Di depan Oemah Kayu Embun, tepatnya di seberang jalan, ada sungai kecil yang jernih dengan mata air segar dari bukit. Sungai ini biasa dijadikan sebagai tempat mandi masyarakat yang sedang berwisata. Tapi jangan berani coba-coba mandi di sini ketika pagi, karena airnya benar-benar dingin sekali.
Untuk fasilitas sendiri di sini sudah tersedia kamar mandi, toilet, dan mata air yang berlimpah. Berada di Oemah Kayu Embun kita benar-benar disajikan dengan hal-hal yang alami, baik pemandangannya, begitupun dengan santapan kuliner yang langsung dipetik di kebun, jadi jelas sekali kesegarannya terjaga.
Menjelang malam, udara dingin mulai mengendap ke rumah panggung yang kami tempati. Langit mulai gelap dan kami mulai merapat ke atas tembikar yang dibentangkan. Sementara tenda yang tadi sudah kami dirikan kami biarkan saja dahulu di samping rumah.
Tidak berapa lama satu teko wedang uwuh disajikan sebagai penghangat. Menjelang jam tujuh malam, langit mulai terang, kami mulai sibuk menyalakan api unggun di depan rumah. Beberapa kawan yang lainnya menyalakan pembakaran untuk sate dan jagung di rumah bagian bawah.
Bintang satu per satu mulai timbul, dan jelas sekali lebih terang dilihat dari sini. Sembari menyeruput wedang dari kursi rotan, kami menikmati pemandangan langit yang mulai menyeruapkan rupa-rupa galaksi.
(ddn/ddn)