Mari mengenal kue clorot dari Purworejo. Di daerah lain, di Jawa Tengah, namanya bisa berbeda. Seperti di Blora, namanya dumbek.
Makanan khas Purworejo ini dia kenal sejak dia duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP). Di umur belasan tersebut, Ninik baru pindah dari Sumatera ke Desa Roworejo, Grabag, Purworejo.
Ninik menjual produknya ke tetangga sekitar tiga tahun. Setelah itu, Ninik bersama anaknya memproduksi clorot secara mandiri di rumahnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Agar masyarakat semakin mengenal, hasil produksinya dia namai Clorot Cemethut. Sejak saat itu, rumah tidak jarang riuh dengan produksi clorot dari hulu ke hilir.
Hal ini sedikit banyak mengingatkan Ninik saat kecil dulu, ketika orang tuanya mengajarinya membuat clorot.
Pertama, Ninik perlu membuat urung clorot. Berbahan janur, satu clorot setidaknya membutuhkan dua helai janur ukuran sedang. Satu clorot untuk membuat urung bagian bawah.
Sementara janur satunya untuk membuat semacam bentuk pipa. Urung clorot harus rapat dan tidak menyisakan celah. Hal ini berpengaruh pada proses selanjutnya.
Dalam proses adonan, bahan yang perlu disediakan berupa tepung beras, gula jawa, gula merah, tepung tapioka, vanili, dan kapur sirih. Kapur sirih berguna sebagai pembentuk unsur kenyal dalam adonan. Selain gula jawa, semua adonan dicampur.
"Kalau zaman dulu, sudah jadi adonan kental. Caranya dengan ditaruh di lumpang kayu, ditumbuk, dulu belum pakai tepung tapioka. Sekarang enggak perlu ditumbuk lagi. Cukup diwadahi baskom, ditepuk-tepuk pakai telapak tangan sekitar 10-15 menit," kata Ninik.
Setelah cukup kenyal, adonan ditambah cairan gula yang direbus. Gula ditambahkan agar encer dan memberi rasa pada clorot. Adonan akhir kemudian dimasukkan ke urung clorot untuk kemudian dikukus.
Selain penambahan tepung tapioka, seluruh bahan masih sama dengan resep dari para leluhur. Proses pengukusan juga masih menggunakan kayu bakar.
Ninik pernah menggunakan bungkus selain janur, atau perapian selain kayu, rasanya ternyata berbeda. Dalam sehari, rata-rata Ninik memproduksi 300-500 clorot. Dia menjulanya di pasar.
Namun produksi itu bisa lebih banyak apabila ada pesanan khusus. Pernah suatu Ketika, Ninik bersama pegawainya bisa memproduksi 1.500 clorot dalam sehari.
Clorot sarat makna
Clorot biasanya muncul dalam momen-momen khusus, seperti hajatan atau suguhan untuk tamu yang datang dari jauh. Namun seiring berjalannya waktu, clorot juga menjadi cemilan pagi hari. Biasanya disandingkan dengan teh atau kopi.
"Karena clorot rasanya sudah manis, biasanya teh atau kopinya tidak terlalu manis," kata Ninik.
Dari segi bungkus, pemakaian janur memiliki makna khusus. Janur bisa berarti nur atau cahaya.
"Cahaya dari Yang Maha Kuasa, mengingatkan kita agar memanfaatkan Tuhan dengan baik," katanya.
Sementara cara makannya dengan mendorong clorot bagian bawah. Biasa memberi nasehat menggunakan satu jari, bisa jempol atau jari telunjuk. Dengan didorong dari bawah, isi clorot yang kenyal dan lembut akan keluar dari bungkusnya.
"Jadi cara makannya bukan dengan membuka bungkus clorot. Filosofinya, setiap makhluk hidup punya masalah, apapun masalahnya, kita pasrahkan ke yang di atas atau Tuhan," kata Ninik.
Clorot masa kini
Makanan khas suatu daerah berpotensi mendatangkan keuntungan. Orang yang hendak membawa oleh-oleh khas Purworejo misalnya, bisa membeli clorot. Sayangnya, clorot hanya bisa bertahan satu sampai dua hari.
Padahal, oleh-oleh biasanya dibawa dalam perjalanan berhari-hari. Semakin menekuni produksi clorot, ada keinginan yang kuat untuk terus memelihara makanan warisan leluhur ini.
Namun tidak hanya diperbarui, dia perlu adanya inovasi. Setelah melihat berbagai referensi dan percobaan, Ninik mencoba sistem vakum. Clorot dimasukkan ke dalam bungkus plastik, setelah itu divakum.
"Ternyata setelah divakum, clorot bisa awet sampai tujuh hari. Bahkan kalau dimasukkan ke freezer bisa tahan sampai setahun," kata Ninik.
Selain memvakum, Ninik juga pernah mencoba dengan sistem sterilisasi. Sayangnya, model ini perlu menggunakan alat khusus yang belum dia miliki. Namun ada cara lain, yakni mengukus.
Sterilisasi bisa membuat clorot tahan selama tiga bulan. Inovasi ini membuat Ninik bisa menjual clorot tidak hanya di pasar, tapi juga secara online. Makanan yang tahan lama juga mampu membuat penjualan Clorot Cemethut tembus pasar luar negeri.
"Pernah beberapa bulan sebelumnya, dari bandara langsung mengeluarkan clorot produksi kami, katanya mau diekspor ke Hong Kong," katanya.
"Tidak jarang juga orang asli sini, saat dia mau kerja di luar negeri seperti Jepang, Abu Dhabi dan lainnya juga membawa clorot sebagai oleh-oleh. Bisa dimakan sendiri atau dikasih ke taman atau bosnya," imbuh dia.
Agar clorot semakin banyak cita rasanya, Ninik juga membuat berbagai varian rasa. Selain rasa manis original dari gula jawa, adapula alternatif varian lain seperti ubi ungu, kacang hijau, dan gula hitam.
Harga clorot tanpa vakum atau sterilisasi senilai Rp 1.000 per bungkus. Sementara satu clorot yang dibungkus dengan sistem vakum dihargai Rp 2.500. 10 clorot dalam satu bungkus yang divakum harganya Rp 17.000.
Komentar Terbanyak
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol
Tragedi Juliana di Rinjani, Pakar Brasil Soroti Lambatnya Proses Penyelamatan