Unik, Santa Maria de Fatima, Gereja Bergaya Tionghoa di Glodok

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Unik, Santa Maria de Fatima, Gereja Bergaya Tionghoa di Glodok

Qonita Hamidah - detikTravel
Minggu, 07 Des 2025 08:52 WIB
loading...
Qonita Hamidah
Gereja Katolik Santa Maria de Fatima di Jalan Kemenangan III, Pecinan Glodok
Suasana di dalam Gereja Katolik Santa Maria de Fatima yang hening.
Miniatur di samping kiri pintu masuk gereja.
Cagar Budaya Gereja Katolik Santa Maria De Fatima di Glodok, Jakarta Barat
Gereja St. Maria de Fatima terletak di Jalan Kemenangan, Glodok, Tamansari, Jakarta Barat. Saat itu, Jalan Kemenangan bernama Toosebiostraat. Nama Gereja Santa Maria de Fatima dikenal juga sebagai Gereja Toasebio.(Rengga Sancaya)
Cagar Budaya Gereja Katolik Santa Maria De Fatima di Glodok, Jakarta Barat
Pada tahun 1972 Gereja Santa Maria de Fatima secara resmi diakui dan dilindungi Undang-Undang sebagai Cagar Budaya Nasional.(Rengga Sancaya)
Cagar Budaya Gereja Katolik Santa Maria De Fatima di Glodok, Jakarta Barat
Gereja Katolik Santa Maria de Fatima, Toasebio, adalah salah satu gereja tertua di Keuskupan Agung Jakarta. (Rengga Sancaya)
Cagar Budaya Gereja Katolik Santa Maria De Fatima di Glodok, Jakarta Barat
Gereja diakui secara resmi sebagai paroki pada 13 Oktober 1955. Pengambilan nama Santa Maria de Fatima sebagai nama paroki adalah untuk mengenang peristiwa penampakan Santa Maria kepada tiga anak di Fatima, Portugal, pada tahun 1917(Rengga Sancaya)
Unik, Santa Maria de Fatima, Gereja Bergaya Tionghoa di Glodok
Unik, Santa Maria de Fatima, Gereja Bergaya Tionghoa di Glodok
Unik, Santa Maria de Fatima, Gereja Bergaya Tionghoa di Glodok
Unik, Santa Maria de Fatima, Gereja Bergaya Tionghoa di Glodok
Unik, Santa Maria de Fatima, Gereja Bergaya Tionghoa di Glodok
Unik, Santa Maria de Fatima, Gereja Bergaya Tionghoa di Glodok
Unik, Santa Maria de Fatima, Gereja Bergaya Tionghoa di Glodok
Jakarta -

Di kawasan Glodok, Jakarta Barat, berdiri sebuah gereja yang berbeda dari gereja Katolik pada umumnya, Gereja Santa Maria de Fatim atau yang sering juga disebut Gereja De Fatma. Bangunan berusia sekitar 80 tahun itu memiliki arsitektur yang lebih mirip klenteng dibandingkan gereja Katolik pada umumnya.

Awalnya, bangunan itu merupakan rumah milik seorang saudagar Tionghoa pada 1950-an. Saudagar tersebut kemudian berpindah keyakinan dan memeluk agama Katolik.

Sebagai ungkapan cinta dan devosinya, dia menyerahkan rumah tersebut untuk dijadikan gereja. Sejak saat itu, berdirilah Gereja Santa Maria de Fatima yang kita kenal sekarang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dari luar, suasana kuno langsung terasa. Bangunannya menggunakan warna merah dominan khas budaya Tionghoa. Di bagian kanan halaman, berdiri patung Bunda Maria sebagai penanda identitas Katolik, sementara bangunan utama tetap mempertahankan struktur arsitektur rumah Tionghoa tradisional.

Masuk ke dalam, nuansa Tionghoa semakin terasa kuat. Dinding merah, ornamen emas, altar serba merah, hingga ukiran-ukiran bergaya oriental menjadi elemen utama interiornya. Bahkan, sosok Yesus dan Bunda Maria digambarkan dengan wajah Tionghoa atau "Chinois".

ADVERTISEMENT

"Awalnya gereja ini milik saudagar dari Tionghoa, uniknya di sini Yesus atau Bunda Maria itu bajunya pakai pakaian Chinese, seperti yang pernah dikasih ke Paus Fransiskus, kan Bunda Maria pakai kebaya. Nah, itu sebagai simbol saja," kata Arif, pemandu wisata UPK Kota Tua, Jumat (5/12/2025).

Menurut Arif langkah itu dilakukan agar ajaran Katolik lebih mudah diterima masyarakat Tionghoa yang terbiasa dengan bentuk visual mirip leluhur mereka.

Bangunan Gereja Santa Maria de Fatima juga telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya. Di bagian depan tertera keterangan bahwa gedung ini dilindungi oleh STBL 1931 No. 238 sebagai monumen bersejarah.

Bagi traveler yang ingin berkunjung, gereja ini terbuka untuk umum. Namun tentu saja, pengunjung tetap diimbau untuk menjaga ketenangan dan menghormati umat yang sedang beribadah.

Gereja Santa Maria de Fatima bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga saksi sejarah akulturasi budaya Tionghoa dengan Katolik di Jakarta. Bangunan itu menjadi bukti bahwa keragaman budaya dapat hidup berdampingan dengan indah dan saling menghidupkan.

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads