Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan menapaki ranah Minang, istilah yang digunakan orang Minangkabau untuk tanah kelahirannya. Sepanjang jalan saya disambut dengan panjang dan hijaunya Bukit Barisan, menyejukkan setiap mata yang memandang.
Cuaca Sumatera Barat saat itu sangatlah panas dan menyengat kulit. Sambil mengelap keringat, dan membenarkan posisi kacamata hitam, saya terus memandang ke arah luar mobil. Namun aneh, sepanjang jalan yang saya lalui, kenapa belum ada satu pun rumah gadang asli Minangkabau di Jalur lintas Sumatera ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi nyatanya, sedari awal menjejakkan kaki di Ranah Minang ini, belum ada satu pun rumah adat yang tertangkap mata saya. Yang terlihat hanyalah rumah penduduk yang kini sudah modern, mirip bangunan rumah di perkotaan.
Sambil terus memandang jauh ke depan dan menahan lelah yang tertahan karena perjalanan panjang dari Jakarta, di daerah Sijunjung mata ini terhenti pada satu rumah. Akhirnya, saya berhasil melihat rumah bertanduk ini. Inilah salah satu tujuan saya datang ke Sumbar, bertamu ke rumah adat yang sudah jarang ada karena terkikis rumah modern.
Adalah Pandito Hermi Syukri, nama sang pemilik rumah yang tinggal hanya berdua bersama istrinya. Dengan wajah ramah, dan logat khas Padang, ia mempersilakan kami masuk.
"Hampir kelewatan ndak tadi? Ndak kan? Ini rumah gadang satu-satunya dan paling tua yang ada di Padang Sibusuk," kata Pandito sambil terus menghisap rokoknya di ruang tamu rumah yang langsung menghadap ke jalan Lintas Sumatera.
Menurut Pandito, rumah gadang milik keluarganya ini adalah satu-satunya yang masih asli di Padang Sibusuk, nama desa berdirinya rumah ini. Lalu bagaimana dengan rumah lain? Kebanyakan rumah gadang yang ada di Padang Sibusuk sudah tidak terbuat dari kayu, tapi tembok. Hanya meninggalkan atap sebagai identitas kegadangan.
Aroma kayu yang menjadi bahan dasar pembuatan Rumah Gadang seolah menjadi parfum alami yang tak akan habis. Dari ruang tamu, saya bisa langsung melihat bus besar dan truk yang wara-wiri dengan cepatnya di Jalan Lintas Sumatera.
"Enak kan duduk di sini? Bisa lihat langsung ke Lintas Sumatera, ada banyak bus dan truk yang lewat, apalagi kalau pagi hari, sambil makan lontong sayur, nikmat sekali," jelas adik Pandito, Herman Syukri yang ikut menemani dan telah lama tinggal di Jakarta.
Memang tidak bisa dibohongi, berada di dalam rumah ini memberikan kesejukkan tersendiri. Udara segar dari pepohonan rimbun di sekitar rumah, seolah mengelus lembut wajah saya, dan masuk dengan anggunnya ke paru-paru. Segar!
Puas duduk di ruang tamu, saya diajak melihat ke bagian rumah yang lain, ada 4 ruang kamar di dalam rumah gadang ini. Satu kamar diperuntukkan orang tua, dan tiga untuk anak perempuan. Sumatera Barat memang dikenal dengan sistem matrilineal, yaitu mengambil garis keturuan dari perempuan, jadi kamar yang ada di rumah gadang ini pun diperuntukkan untuk anak perempuan.
Lalu bagaimana dengan anak laki-laki? "Biasanya tinggal di surau, tapi mama buat kamar di bagian bawah rumah inti ini," jelas Pandito.
Di sela percakapan, sayup-sayup terdengar suara kerbau. Saya yang terbiasa hidup di perkotaan, tidak biasa mendengar suara kerbau. Tanpa buang waktu, saya langsung membuka jendela, benar saja di depan saya ada kandang kerbau yang hanya berjarak sekitar 5 meter dari rumah.
Rasa takjub sekaligus gembira meliputi seluruh hati saya. Siapa sangka, malam ini saya akan menginap di dalam rumah yang sudah jarang ada.
(shf/fay)
Komentar Terbanyak
Pariwisata Indonesia Kalah Pamor dari Malaysia, Masalahnya Bukan di Angka tapi...
Turis Lebih Tertarik ke Malaysia, Indonesia Tidak Kalah Indah tapi...
Perang Dagang Jilid Dua: AS Larang Maskapai China Lewat Langit Rusia!