Jantung saya berdegup kencang mendengar nama Segara Anakan. Saya, waktu itu bersama komunitas Backpacker Indonesia, menjajaki Pantai Sendang Biru di selatan Kota Malang pada 2008 silam. Bersama-sama, kami memanggul ransel besar untuk persediaan selama mejelajah Kota Malang dan sekitarnya. Pulau Sempu adalah tujuan utamanya.
Satu tempat yang menggerakkan kaki kami adalah Segara Anakan. Butuh perjuangan 20 jam dari Jakarta, menaiki kereta ekonomi Matarmaja dan tersiksa selama 20 jam. Mandi seperlunya, makan seadanya, menyisihkan uang jajan semasa kuliah untuk bisa melihat pesona Segara Anakan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya mengumpulkan tenaga untuk trekking, sekitar 1 jam menuju primadona Pulau Sempu itu. Treknya cukup landai dan menyenangkan, walaupun terhalang batang pohon yang tumbang di beberapa tempat. Teriknya matahari tak jadi halangan, berkotor-kotor sedikit karena lumpur juga tak masalah. Hingga tiba-tiba, air berwarna kehijauan itu mengintip dari sela pepohonan.
Aku mempercepat langkah, bahkan sempat berlari. Trek menurun itu menuntun saya menuju tempat yang selama ini menghantui pikiran: Segara Anakan. Saat berada di tepi bukit dan menghadap langsung Segara Anakan, nafas saya sedikit tertahan. Ah, akhirnya tercapai juga keinginan untuk menginjakkan kaki di Segara Anakan!
Segara Anakan bagai pantai tanpa lautan. Bentuknya lebih mirip danau karena warna hijau yang dominan, beda dengan air laut yang berwarna biru. Pantainya berpasir putih bersih dan sangat halus. Waktu itu hanya ada satu rombongan traveler yang kemping di pantainya, mengingat Pulau Sempu belum diketahui banyak orang.
Danau itu berlatar tebing tinggi yang membentenginya dengan Samudera Hindia. Satu bagian di tebing itu berlubang karena erosi. Dari situlah air di Segara Anakan berasal. Tebing itu seakan melindungi keindahan tiada tara dari ganasnya Samudera Hindia.
Masih menggendong ransel dan bersendal gunung, saya berlari menuju pantainya. Menghirup udara bersih Pulau Sempu yang dikelilingi rimbunnya hutan. Suara hantaman ombak dari balik tebing sana tampak menyeramkan, namun dari sini, alam begitu harmonis dan membingkai indah.
Di suatu hari tahun 2008 itu, saya bersyukur bisa menginjakkan kaki di Segara Anakan. Semua itu berawal dari impian, juga keinginan untuk menjelajah ciptaan Tuhan. Saya pun tersenyum menghadap Segara Anakan.
(ptr/ptr)
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum