Minggu (7/10/2012) lalu, saya terdiam di depan sebuah kompleks bangunan. Namanya Green Central City, di bilangan Jl Gajah Mada No 188, Jakarta Barat, di sela meliput Mooncake Festival yang berlangsung di Kawasan Cagar Budaya Candra Naya.
Tapi, di mana kawasan cagar budaya yang dimaksud itu? Selintas, saya tak melihat apa pun kecuali Hotel Novotel yang menjulang tinggi di sebelah kiri, dan waralaba 711 yang ada di sebelah kanan. Penasaran, saya tanya satpam. Di mana Candra Naya?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Candra Naya, begitu nama bangunan ini, tampak seperti bangunan baru. Tapi saya tak habis pikir, kenapa bangunan Tionghoa seperti ini ada di sela-sela gedung-gedung tinggi? Pasti ada sesuatu hal yang bernilai historis. Ada jejak sejarah yang terekam lewat dinding-dinding dan atap bergaya Tionghoa ini.
Benar saja, di pintu depan, terdapat sebuah poster bertuliskan keterangan tentang Candra Naya. Saya diam sejenak, mengusap peluh akibat panasnya ibukota, dan mulai membaca.
Tak ada yang tahu pasti tahun berdirinya bangunan ini, yang jelas, tahun 1870-an Candra Naya sudah ditempati. Dulu, bangunan ini adalah rumah seorang mayor yang mengurusi kepentingan masyarakat Tionghoa di Batavia. Pemilik sekaligus tuan tanahnya bernama Khouw Tian Sen. Bangunan itu kelak diberikan kepada ketiga anaknya.
Seorang wanita yang mengenakan Cheongsam (pakaian khas Tionghoa-red) mengagetkan saya. "Kenapa Mbak, kok dicatat?" tanyanya. Matanya mengarah ke pulpen dan notes di tangan saya. Berusaha mengabaikan rasa penasarannya, saya pun balik bertanya. Apa yang istimewa dari bangunan ini?
"Dulu di sini jadi perkumpulan Tionghoa untuk korban perang," jawabnya. Wanita itu pun menunjuk ke poster, membaca nama 'Sin Ming Hui'. Itu adalah nama perkumpulan yang mewakili masyarakat Tionghoa dalam kehidupan sosial mereka di Batavia. Sin Ming Hui berdiri pada Januari 1946.
Wanita itu pun tersenyum dan izin masuk ke dalam ruangan. Setelah menunduk dan ikut berucap terima kasih, saya lanjut membaca keterangan di poster itu.
Saat Sin Min Hui berdiri, bangunan ini dipakai untuk beragam kepentingan sosial seperti poliklinik dan sekolah. Poliklinik inilah yang jadi cikal bakal RS Sumber Waras. Sementara sekolahnya menjadi SMA 2 yang menempati bangunan nomor 168.
Setelah Indonesia merdeka, bangunan nomor 204 dijadikan Kedutaan Besar RRC. Pada 1965, Lembaga Pembina Persatuan Bangsa menganjurkan masyarakat keturunan Tionghoa untuk ganti nama. Sin Ming Hui pun berganti nama menjadi Candra Naya.
Luar biasa. Rasa senang membuncah dari sanubari saat menyadari ada bangunan sejarah yang masih sangat terawat. Saya langsung masuk ke dalam bangunan, dan tanpa disangka-sangka, disambut langsung oleh Khouw Tian Sen. Eits, bukan orangnya, bukan pula arwahnya. Lukisan Khouw Tian Sen menjadi pajangan satu-satunya di dinding berornamen khas Tionghoa.
Masuk lebih dalam, ada sebuah ruangan besar yang terhubung dengan beberapa ruangan lainnya. Waktu Mooncake Festival hari Minggu lalu, area ini menjadi stan pameran fotografi. Namun sebuah pintu di sebelah kiri, setengah tertutup, mencuri perhatian saya. Saya pun mengintip dan masuk pelan-pelan.
Ruangan ini tak terhubung dengan ruangan lainnya. Di dalamnya terdapat banyak kaligrafi bahasa Mandarin, dipajang di pigura besar-besar. Pintu dan jendela berornamen khas Tionghoa masih terawat dan apik. Setelah beberapa jepret kamera, dan saya pun menjelajah ke area lainnya.
Rupanya Candra Naya cukup besar. Ada tiga bangunan utama yang berada di sisi depan, kiri, dan kanan. Di bagian tengah, terdapat kolam ikan lengkap dengan koi warna-warni dan pancuran dari mulut patung katak. Di bagian belakang bangunan, dibangun panggung temporer untuk beragam atraksi selama berlangsungnya Mooncake Festival.
Selama berkeliling, saya mengagumi tiap sudut bangunan ini. Walaupun pernah dirombak beberapa kali, Candra Naya masih terjaga apik. Walaupun tak tampak dari jalan raya, "nyungslep" di tengah-tengah gedung tinggi, Candra Naya masih jadi kawasan cagar budaya Tionghoa.
Saya salut bagi siapa pun yang berusaha mempertahankannya. Karena dari bangunan seperti inilah, anak cucu kita kelak bisa akrab dengan sejarah.
(ptr/fay)
Komentar Terbanyak
Bus Pun Tak Lagi Memutar Musik di Perjalanan
Ogah Bayar Royalti Musik, PO Bus Larang Kru Putar Lagu di Jalan
Hotel di Mataram Kaget Disurati LMKN, Ditagih Royalti Musik dari TV di Kamar