Misteri Desa Batu Menangis di Tablanusu

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Misteri Desa Batu Menangis di Tablanusu

- detikTravel
Jumat, 20 Des 2013 08:37 WIB
Pantai di Tablanusu dengan batu-batu berjuluk Batu Menangis (Deddy/detikTravel)
Jayapura - Papua punya banyak pesona untuk wisatawan dan bahkan ini hanya di sekitar Jayapura. Di Distrik Depapre ada Desa Tablanusu yang berjuluk 'Desa Batu Menangis'. Ada kisah apakah di baliknya?

Kesulitan mencari sinyal telepon seluler di Desa Tablanusu, Distrik Depapre, Kabupaten Jayapura, ini nyaris mengalihkan perhatian saya dari keindahan alam di desa pesisir itu. Maklum, meski berada di daerah pedalaman seperti itu, komunikasi tak boleh ketinggalan.

Untunglah, pada hari terakhir kegiatan pelatihan yang diadakan oleh WWF Indonesia, pada awal Desember lalu, saya berkesempatan menikmati pemandangan indah di desa itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saya belum pernah ke Raja Ampat, tapi kalau membandingkan foto perairan Raja Ampat dengan perairan yang terbentang di utara Tablanusu, rasanya setara indahnya. Pada siang hari laut tampak hijau bersih. Tak jauh dari pantai tampak beberapa pulau-pulau karang kecil berdiri tak berpenghuni.

Desa ini dikepung lautan jernih Teluk Tanah Merah di utara, hutan dan pegunungan di timur dan barat, serta telaga yang merupakan muara dari beberapa sungai kecil, di selatan. Telaga ini terhubung langsung ke laut melalui sebuah saluran besar, sehingga air telaga itu asin.

Keunikan desa ini adalah pelatarannya yang berbatu koral. Ya! Nyaris seluruh permukaan desa ditutupi batu koral hitam. Jadi, kalau berjalan-jalan di sana, beradunya telapak kaki di permukaan koral akan menghasilkan suara yang khas. Kaki juga seperti dipijat refleksi.

Desa ini memiliki julukan lain 'Desa Batu Menangis'. Entah bagaimana ceritanya, beberapa penduduk desa yang saya tanyai juga tak tahu mengapa disebut begitu. Tapi mereka bilang, batu-batu itu sudah ada sejak zaman nenek moyangnya. Suara-suara batu koral yang terinjak kaki, konon menimbulkan suara seperti menangis.

Tak banyak penginapan di sana. Satu-satunya hotel adalah Resor Suwae yang menyediakan kamar-kamar sampai bungalow. Tapi kalau mau, pengunjung bisa menginap di rumah penduduk, atau kemping di pantai.

Beberapa tahun lalu, konon pintu masuk ke desa ini hanya melalui laut, yakni dari Pelabuhan Depapre. Tapi sekarang sudah ada jalan beraspal dari Kota Jayapura dan Sentani. Dari Jayapura, perjalanan memakan waktu sekitar 3 jam.

Desa Tablanusu dihuni sekitar 111 kepala keluarga yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan. Mereka terdiri dari klan Sumile, Danya, Suwae, Apaserai, Serantow, Wambena, Semisu, Selli, Yufuwai, dan Yakurimlen.

Untuk menambah penghasilan, sebagian penduduk membudidayakan ikan mujair air asing di Telaga Dukumbo, yang terdapat di sebelah selatan desa.

Ikan mujair, yang lebih dikenal sebagai ikan air tawar, adalah ikan yang sangat populer di Papua. Ketika berjalan-jalan di sekitar Danau Sentani, banyak sekali rumah makan yang menyediakan menu ikan mujair, seperti mujair bakar dan lalapan mujair. Danau Sentani termasuk habitat ikan ini.

Tapi mujair air asin, saya kira itu kisah unik Tablanusu karena penduduk desa ini adalah satu dari sedikit komunitas yang membudidayakan mujair jenis itu. Hanya saja pembudidayaan dan pemasarannya belum masif.

"Dipanen hanya untuk makan sendiri atau dijual ke turis yang datang," kata Efraim Kawae, seorang nelayan di sana. Ikan dibudidayakan dalam keramba-keramba kayu.

Ada beberapa kegiatan rekreasi yang bisa dilakukan di sana, mulai dari trekking hutan, wisata sejarah, dan wisata budaya. Sayang, tak banyak waktu yang tersedia untuk mengeksplorasi keindahan Tablanusu.

Padahal, menurut pegawai resor itu, ada beberapa spot menarik di sekitarnya. Di antaranya adalah Bukisi, area pantai dengan pasir yang bersih. Lalu ada Pantai Harlen, yang bisa dicapai dengan kapal ke arah timur.

Di Harlen kita bisa snorkeling, menyelam, atau sekadar menikmati reruntuhan situs peninggalan Perang Dunia II. Kabarnya, pasukan sekutu pernah mendarat di sana dan menjadikannya basis untuk kawasan timur Indonesia.

Meski begitu, saya berkesempatan mengarungi Teluk Tanah Merah ketika WWF melakukan field trip ke Desa Demta, di Distrik Demta, satu jam perjalanan dengan speedboat ke arah barat. Di dalam perjalanan, pemandangan yang tersaji di depan mata sungguh indah.

Desa Tablanusu dan sekitarnya seperti tenggelam di dalam rimbunan pepohonan hijau yang menutupi pegunungan-pegunungan di sekelilingnya. Pulau-pulau karang kecil seakan-akan menjadi 'gerbang-gerbang' alami menuju pantai.

Beberapa kali saya menyaksikan ikan ekor kuning besar-besar berloncatan di permukaan gelombang. Saya baru mengerti, mengapa kawasan itu juga menjadi tujuan para pemancing. Saya juga beruntung melihat sekawanan ikan lumba-lumba berenang dan berloncatan tak jauh dari kapal. Mengesankan!

(ptr/fay)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads