detikTravel bersama PT Nagata Dinamika anak buah PT Sewatama yang bergerak dalam bidang suplai energi mencoba berkunjung selama 7 hari 5 malam. Selain melakukan kunjungan ke lokas proyek PLTM. Perjalanan dilakukan dari tanggal 24-29 Desember ke Tana Toraja untuk dapat mengenal budaya mereka.
"Ini saya mencoba secara turun temurun dari nenek. Sebetulnya saya sendiri tinggal di Sulawesi Barat tetapi masih memiliki darah khas Toraja," ujar penenun traditional, Yusiah Eppa di Rantepao, Kabupaten Toraja Utara, Jumat (26/12/2014).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sekarang ini sudah tidak ada lagi yang mengerjakan dengan proses traditional, semua dengan cara modern jadi kualitas yang di kainnya berbeda," tuturnya.
Ia menjelaskan sejak diajarkan oleh orangtuanya cara menenun kain, dirinya tidak pernah mengunakan bahan kimia.
"Mulai dari kapas sampai proses pewarnaannya kita menggunakan bahan alami, seperti benang ini dibuat dengan kapas kemudian dipintal sementara proses pewarnaannya kami menggunakan bahan baku jahe, lombok (cabe-red), kunyit, abu hasil pembakaran daun dan lain. Warna-warna yang dihasil akan menjadi unik dan membuat kain jadi tahan lama," ujarnya.
Di lokasi pengerajinan sendiri terdapat alat pintal dan alat tenun bukan mesin yang memiliki usia ratusan tahun. Jika membandingkan kain yang dihasilkan di toko ini memang berbeda jauh dengan di pasar-pasar.
"Kebanyakan yang membeli kain ini orang mancanegara semua karena kebanyakan kalau ditanya mereka sudah bosan dengan kain yang terbuat dari mesin. Untuk membedakannya juga gampang, kalau kain tradisional pasti ukuran panjang tidak lebih dari 4 meter dan lebar 70 hingga 80 cm. Sementara kain yang dikerjakan dengan mesin bisa bermeter-meter panjangnya dan lebarnya bisa 2 meter," kata Heni pemintal benang di toko kain Toraja tersebut.
Heni mengatakan untuk di daerah toraja utara sudah sedikit orang yang melestarikan budaya ini. Sebagai masyarakat asli Tana Toraja berharap kedepan generasi muda dapat lebih peka.
"Ini hampir punah terlebih untuk di daerah Kalumpang sulawesi barat hanya tinggal satu kampung saja yang masih melakukan kegiatan ini, sementara di Rantepao sendiri hanya ada di sini yang melakukan proses pembuatan secara traditional. Untuk proses pembuatannya sendiri untuk satu kain bisa sampai enam bulan mulai dari pemintalan kapas hingga seperti ini, sehingga wajar kalau harganya sudah mahal," tutupnya.
(shf/shf)
Komentar Terbanyak
Banjir Bali, 1.000 Hektar Lahan Pertanian per Tahun Hilang Jadi Vila
Warga Harap Wapres Gibran Beri Solusi Atasi Banjir Bali
Belum Dibayar, Warga Sekitar Sirkuit Mandalika Demo-Tagih ke ITDC