Cirebon, Gado-gado Budaya Racikan Wali Songo

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Asal Usul Wali Songo

Cirebon, Gado-gado Budaya Racikan Wali Songo

Fitraya Ramadhanny - detikTravel
Rabu, 08 Jul 2015 17:53 WIB
Keraton Kanoman bertabur keramik Tiongkok (Fitraya/detikTravel)
Cirebon - Pusat dakwah Wali Songo di Jawa Barat adalah Cirebon lewat Sunan Gunung Jati. Cirebon dibangun dengan resep gado-gado budaya, jauh sebelum Indonesia mengenal Bhinneka Tunggal Ika. Wisatawan tinggal menikmatinya hari ini.

Cirebon pada hari ini dikenal sebagai destinasi wisata religi dan kuliner populer di Jawa Barat. Tahun 2015 ini, umur Cirebon sudah 646 tahun. Sungguh bukan umur yang sebentar dan mungkin melampaui bayangan pendiri Kota Udang ini.

Badad Cirebon karya Sulendraningrat menceritakan Cirebon awalnya hanya hutan di tepi pantai utara Jawa yang dibuka menjadi pemukiman oleh Pangeran Cakrabuana, putera Prabu Siliwangi Raja Pajajaran. Dia masuk Islam dan belajar kepada Syekh Nurjati, seorang ulama lokal. Namun petualangannya baru dimulai ketika dia dan adik perempuannya Nyi Mas Rara Santang menjadi bagian dari keluarga besar Sayyid Hussein Jumadil Kubro.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Semua berawal ketika Syekh Nurjati meminta mereka melanjutkan pelajaran agama Islam kepada Maulana Malik Ibrahim di Champa. Babad Cirebon menyebutkan seorang Sultan Mesir bernama Maulana Syarif Abdullah mempersunting Nyi Mas Rara Santang. Namun penelusuran detikTravel, soal Sultan Mesir ini butuh diralat dari sejarah resmi Cirebon.

Penelitian antropolog Universitas Utrecht, Martin Van Bruinessen klop dengan data silsilah yang dihimpun Christopers Buyer melalui website The Royal Ark tentang silsilah Kesultanan Kelantan dengan merangkum 14 buku sejarah. Mereka sama-sama menyebutkan Syarif Abdullah adalah Raja Champa berdarah Tionghoa-Arab -bukan Mesir- yang bertahta pada 1471-1478.

Ketika Cakrabuana pulang ke Cirebon, adiknya tetap di Champa, sampai melahirkan Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati. Syarif Hidayatullah menjadi cicit dari Jumadil Kubro, Sunan Gresik adalah kakek jauhnya, pamannya adalah Sunan Ampel. Sunan Drajat, Sunan Bonang dan Sunan Kudus adalah sepupu-sepupunya. Ketika dewasa kelak, Sunan Kalijaga adalah keponakannya. Sunan Gunung Jati lantas menyusul pamannya Cakrabuana untuk berdakwah di Cirebon.

Dalam periode dakwah, lahirlah aneka destinasi wisata religi di Cirebon yang punya ciri-ciri gado-gado budaya itu. Bagaimana tidak, Sunan Gunung Jati saja berasal dari keluarga multikultural. Ayahnya Syarif Abdullah masih punya nama Indo-china yaitu Wan Bo Tri Tri. Buyutnya Jumadil Kubro berdarah Timur Tengah. Dari ibunya mengalir darah Sunda Hindu Pajajaran. Istri Sunan Gunung Jati pun adalah puteri China bernama Ong Tien Nio.

Hasilnya, tengoklah Keraton Kasepuhan, Masjid Agung Sang Cipta Rasa dan Makam Gunung Jati. 3 Objek wisata sejarah ini penuh nuansa gado-gado budaya. Masjid Agung Sang Cipta Rasa memiliki atap bergaya joglo, dengan hiasan piring keramik Tiongkok di dindingya dan tempat imam salat bergaya candi Hindu.

Keramik Tiongkok juga bertaburan di dinding Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Keraton Kacirebonan dan Makam Gunung Jati. Makam Gunung Jati malah memiliki altar kelenteng untuk warga Tionghoa menziarahi Puteri Ong Tien Nio.

Kampung Arab di Panjunan, Cirebon bertetangga dengan pecinan yang memanjang sampai Keraton Kanoman. Bahasa Cirebon pun adalah gado-gado bahasa Sunda campur Jawa. Batik asli Cirebon yang bermotif mega mendung adalah motif awan dalam ornamen hias Tiongkok.

Berwisata menyusuri jejak Wali Songo di Cirebon, kita bisa menikmati buah manis dari harmonisasi antar kebudayaan Hindu, Islam, China, Arab, Champa, Sunda, Jawa dan entah apalagi yang dicampurbaurkan di sana. Di Cirebon, wisatawan bisa belajar bahwa perbedaan itu indah bukan main.

(fay/fay)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads