Pada hari ke-15 atau Sabtu 29 Agustus 2015, setelah berhasil mencapai Puncak Cartensz, sekitar pukul 12.30 WIT kami harus bergegas turun dari Puncak Carstensz. Disebabkan, cuaca saat itu berkabut serta agar tidak terlalu kemalaman turun ke bawah. Asal tahu saja, pukul 13.00 WIT para pendaki harus segera turun dari sana sebab terlalu riskan jika melakukan panjat tebing di malam hari.
Ketika jalan turun, kabut yang tebal pun menghalangi pandangan kami. Ketika itu, kami masih berada di ketinggian 4.700-an mdpl. Hingga tiba-tiba, jaket yang saya kenakan terasa basah. Oh, hujankah?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wah, begini rasanya hujan salju. Bintik-bintik putih turun dari langit dan membasahi kami. Saya tidak bisa berkata apa-apa lagi. Rasanya Tuhan dan alam memberikan hadiah untuk kami, saya hanya mengucap syukur alhamdulillah. Menurut ketua tim pemandu Ekspedisi Jurnalis ke Carstensz 2015, Hendricus Mutter, hujan salju memang kerap kali terjadi di Puncak Carstensz.
"Bisa pagi atau siang. Tapi hujan saljunya tidak bisa diprediksi jadi ya bisa saja saat musim hujan atau kemarau," katanya.
Beruntung, kami sempat bertemu dengan tumpukan-tumpukan salju. Saya langsung buka sarung tangan dan menyentuh slajunya langsung. Rasanya, dingin dan seperti es serut. Ini pengalaman pertama saya merasakan salju dan itu di negeri sendiri.
Malam terakhir di Carstensz kami lalui dengan menggigil dingin. Hari ke-16 atau Minggu 30 Agustus 2015, kejutan masih berlanjut. Kami bangun pagi pukul 06.30 WIT karena sangat kedinginan. Saya coba beranikan keluar tenda, untuk menggerakan badan supaya hangat. Alangkah terkejutnya, ketika beberapa dari kami melihat bagian luar tenda yang sudah membeku!
"Tendanya jadi es, ini esnya nih," ucap Arga dari Yayasan Somatua kepada saya.
Saya pegang esnya yang seperti es batu saja. Bahkan, kantong sampah berwarna hitam pun tertutup oleh es. Kami benar-benar dibuat kaget, karena suhunya bisa seekstrem ini.
"Ini 1 derajat Celcius. Pernah minus 5 derajat malah di sini, memang seperti itu," ujar pemandu lainnya, Adeshir Yaftebbi kepada kami.
Tangan saya tak berhenti bergetar, menggigil karena kedinginan. Untungnya, satu jam kemudian matahari bersinar cerah yang membuat badan terasa hangat. Cukup satu jam kami merasakan suhu 1 derajat Celcius, dinginnya benar-benar luar biasa. Terlintas di dalam benak, bagaimana kalau Seven Summit dunia lainnya yang suhunya bisa minus sampai puluhan derajat.
"Puncak Everest dan Puncak Denali suhunya bisa minus 40 derajat Celcius. Kebayang tidak seperti apa?" kata Hendricus kepada kami.
Siang harinya, dikawal dengan personel Brigif Mimika, tim jurnalis turun dari Basecamp menuju Timika melintasi jalur tambang PT Freeport. Berbanding terbalik dengan pendakian, perjalanan turun kami hanya berlangsung dalam hitungan jam sampai tiba kembali di Timika pukul 23.00 WIT. Super ekspress!
(rdy/Aditya Fajar Indrawan)
Komentar Terbanyak
Penumpang Hilang HP di Penerbangan Melbourne, Ini Hasil Investigasi Garuda
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol