Di sekitar Danau Sentani, Jayapura, Papua, hidup masyarakat adat dari 24 kampung. Hidup mereka yang sederhana dan dekat dengan alam membuat mata terpesona.
Festival Danau Sentani yang saat ini digelar untuk ke sembilan kalinya memang dimaksudkan untuk menghargai keberagaman masyarakat setempat. Meski mereka memiliki adat yang tidak semuanya sama, penduduk 24 kampung tersebut hidup karena Danau Sentani.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya berkesempatan untuk menyusuri Danau Sentani dan bertandang ke salah satu desa, Senin (20/6/2016) kemarin. Perjalanan menggunakan perahu kayu dari daerah dataran Jayapura, tepatnya di Sentani Timur, hanya memakan waktu sekitar lima menit ke Desa Asei.
Penduduknya yang ramah membuat pengunjung merasa diterima. Sama dengan mayoritas masyarakat Danau Sentani, warga Asei berprofesi sebagai nelayan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Tak sedikit pula yang berkebun di hutan yang ada di pulau mereka atau pulau sekitarnya.
Namun penduduk Desa Asei punya keahlian khusus yang berbeda dengan masyarakat Sentani lainnya. Banyak dari warga Asei mencari tambahan pencarian melalui seni lukisan dengan media kulit kayu. Indahnya lukisan kayu warga Asei sudah banyak dikenal baik di nasional maupun internasional.
"Kami mayoritas usaha itu. 95 persen dari warga sini. Membuat ukiran kulit kayu," ujar sekretaris Desa Asei, Jeksen Kere saat menerima saya dan rombongan.
Jeksen bercerita warga Asei mengambil kayu dari hutan-hutan yang ada di sekitar Sentani. Hanya kulit dari Kayu Kombou yang mereka jadikan media untuk membuat ukiran atau lukisan.
Berbagai macam lukisan kayu dijajakan di pinggir-pinggir jalan kampung. Momen Festival Danau Sentani mungkin dimanfaatkan warga untuk menjual produk andalan mereka sebab banyak pengunjung festival yang berwisata ke pulau-pulau sekitar Sentani.
Corak lukisan mereka tak jauh dari kehidupan mereka sehari-hari. Ada lukisan bergambar sejumlah orang sedang menaiki perahu sambil membawa jaring, lalu gambar ikan-ikan, dan tentunya berbagai hal yang berkaitan dengan Papua. Seperti Burung Cenderawasih dan alat musik pukul tifa.
"Kalau untuk kehidupan sehari-hari kami menjaring ikan, berkebun. Kadang jual lukisan di Pasar Hamadi di Jayapura, pasar tempat jual kerajinan. Nanti mereka jual lagi," kata Jeksen.
Desa Asei sangat sejuk, penuh dengan pohon-pohon nan hijau. Tak banyak aktivitas dilakukan oleh warga. Mereka hidup apa adanya bersama alam. Termasuk para anak kecilnya.
"Turis kadang datang ke mari, waktu itu ada rombongan dari Prancis, pakai kapal putih (speedboat). Memang ukiran kayu kami terkenal sampai mancanegara. Ada nama Yoga tinggal di sini, asli Toraja. Dia perkenalkan ukiran-ukiran kami," tuturnya.
Cerita dari mulut ke mulut membawa turis termasuk dari luar negeri mencari lukisan kayu khas Asei. Para turis mancanegara pun makin banyak yang datang belakangan ini. Maka lukisan kayu Asei pun makin terkenal.
Usai dari Desa Asei, saya pun kembali berkeliling dengan perahu kayu ke beberapa desa terapung di Danau Sentani. Perjalanan tersebut terasa istimewa sebab sejauh mata memandang, perbukitan hijau menjadi background dan sulit terlewatkan.
Rumah-rumah panggung dari kayu yang justru membelakangi daratan dan justru menghadap ke arah danau membuat desa-desa penduduk semakin eksotis. Beberapa perahu kayu berjejer di dekat rumah-rumah penduduk. Itulah yang mereka gunakan untuk transportasi sehari-hari, bukan sepeda motor, apalagi mobil.
Kayu-kayu dipasang untuk menjadi jembatan tempat warga desa terapung saling terhubung. Rasanya warga tak akan pernah kebosanan. Sebab bukan hanya perbukitan hijau menjadi latar belakang rumah mereka, panorama cagar alam Gunung Cyclop langsung bisa mereka saksikan dari depan rumah.
Terlihat di Desa Ayapo sebuah Rumah Adat berwarna merah. Bangunan yang biasa disebut Rumah Besar merupakan tempat ritual maupun kegiatan adat dilakukan.
Keunikan desa-desa di Sentani semakin terasa ketika saya melihat anak-anak kecil berenang di danau dekat rumah mereka. Dengan lincah, mereka berenang ke sana ke mari tanpa takut tenggelam. Beberapa desa rumahnya menghadap ke sisi barat sehingga setiap harinya dapat menyaksikan matahari tenggelam. Mengagumkan!
(elz/krn)
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum