detikTravel beberapa waktu lalu datang ke Buton untuk meliput Festival Budaya Tua atas undangan Kementerian Pariwisata. Di sela-sela acaranya, Diskominfo Buton mengajak berkeliling destinasi di Buton yang salah satunya adalah Lambusango.
Dari informasi pada situs resmi Pemkab Buton, Hutan Lambusango punya luas 65 ribu hektar. Secara administratif, mencakup beberapa kecamatan di sana yakni Kapontori, Lasalimu, Lasalimu Selatan, Siontapina, Wolowa dan Pasarwajo.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hutan Lambusango masih sangat alami dengan mempunyai banyak satwa endemik. Beberapa satwanya seperti burung julang, kuskus, anoa, monyet ochreata brunescens dan tarsius sebagai primata terkecil di dunia. Tercatat ada sekitar 120 spesies burung ditemukan di hutan ini, 36 jenis di antaranya adalah endemik Sulawesi.
Ketika detikTravel sampai di sana setelah menempuh perjalanan 2 jam lebih naik mobil dari Kota Bau-bau, ada sedikit rasa kecewa. Pertama, belum banyak papan penunjuk jalan yang mengarahkan rute ke Hutan Lambusango.
Kedua, begitu sampai di hutannya pun tidak ada papan informasi. Hanya gapura bertuliskan 'Selamat Datang di Hutan Lambusango' dan jalur trekking yang terbuat dari aspal di dalam hutan. Pihak Diskominfo berujar, memang belum ada papan informasi di hutannya.
Untuk melihat satwa-satwa di sana juga tidak bisa sembarangan. Ifran, salah seorang staf dari Diskominfo Buton menjelaskan kebanyakan satwa di Hutan Lambusango aktif di malam hari. Kalau mau melihatnya, harus trekking ke dalam hutan dan bermalam lebih dari dua hari.
Ditemui dalam kesempatan terpisah, Kepala Dinas Pariwisata Buton, Abdul Zainudin Napa menjelaskan soal Hutan Lambusango. Menurutnya, lebih banyak turis asing yang datang ke sana dibanding orang Indonesia sendiri.
"Sekitar 300-600 turis Inggris datang ke sana tiap tahun. Mereka yang mau datang harus melalui Operation Wallacea yang berpusat di Inggris. Mereka akan kemping bisa sampai satu minggu demi melihat hewan-hewan endemik di sana dan mempelajarinya," paparnya.
Lalu bagaimana soal belum lengkapnya papan informasi? Kemudian, tidakkah ada keinginan untuk membuat semacam tempat konservasi agar wisatawan yang datang bisa melihat hewan-hewan endemik di sana tanpa harus kemping di dalam hutannya?
"Kami memang menjaga keasliannya. Itu wisata minat khusus," tegas Zainuddin.
Ya bisa dibilang, inilah hutannya orang Inggris di Sulawesi Tenggara. Toh dengan memberikan papan informasi dan membuat semacam wilayah konservasi satwa, bukan berarti merusak kealamian hutannya sendiri. Jangan sampai orang Indonesia tidak bisa menikmati alamnya sendiri. (aff/fay)
Komentar Terbanyak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Viral Keluhan Traveler soal Parkir Jakarta Fair 2025: Chaos!
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol