PLBN Motaain menjadi semacam destinasi baru diAtambua, lantaran gedungnya baru dan fotogenik. Selain aktivitas penyeberangan antar negara, cerita-cerita keluarga yang terpisah negara selalu menjadi kisah haru dan menarik untuk kamu traveler sejati.
Seperti yang dirasakan detikTravel bersama Tim Tapal Batas detikcom ketika berada di sana Sabtu (1/4/2017). Saat itu matahari sedang terik-teriknya bersinar di atas langit PLBN.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
"Ini upacara adat pengembalian benda pusaka," kata Doru Vicente (41) penanggung jawab upacara kepada detikTravel.
Para pria memakai kain Tais khas Timor, kepala mereka diikat kain batik. Rombongan mereka membawa 3 tiang pusaka, yang di tengah diikat bendera Merah Putih. Yang di belakang membawa genderang, terompet ada juga pedang dalam kotak kayu. Karena seluruh rombongan tidak memiliki paspor, mereka tidak boleh melintasi separuh jembatan.
Upacara yang disaksikan TNI dan Polisi ini berlangsung khidmat dimulai dengan penghormatan kepada Bendera Merah Putih, pergantian bendera di tombak pusaka menjadi Bendera Timor Leste, kemudian tombak pusaka diserahkan kepada rombongan Timor Leste. Terompet dan genderang ikut diserahkan. Upacara pun selesai. Untuk traveler yang suka fotografi, upacara adat seperti ini pasti menarik sekali.
Seperti inilah suasana upacara adat tersebut:
Tidak kami sangka, tangisan pecah selesai upacara. Ternyata..... kedua rombongan ini masih satu keluarga. Namun peristiwa politik Referendum 1999 membuat mereka terpisah, separuh di Indonesia dan separuh di Timor Leste. Tanpa paspor, mereka tidak dapat saling menyeberang dan hanya bisa berciuman dan berpelukan di jembatan ini.
"Mereka dari dua kerajaan, Paslara dan Daulelo di Desa Aidabaleten dan Desa Rairobo, Subdistrik Atabae, Maliana. Aslinya benda pusaka ini di sana, tapi karena kondisi politik 1999 kita selamatkan dulu ke sini," kata Vicente.
Dalam eksodus ke Atambua, mereka tinggal di Desa Kenibibi, Atapupu, sebuah desa pesisir dekat Motaain. Selama itu pula benda pusaka paling penting bagi mereka tidak pernah pulang ke Timor Leste, dan baru dikembalikan 18 tahun kemudian.
"Benda pusaka ini dari zaman kolonial, tahunnya saya tidak tahu. Kalau tiang pusaka ini penghargaan dari pemerintahan Soeharto, sebelum Jajak Pendapat. Makanya di ujung tiang ada relief Garuda," ujar dia.
![]() |
Sambil Vicente bercerita, saya melihat lagi orang-orang yang satu keluarga, namun politik membelah mereka. Tentu saja itu bukan kehendak orang-orang ini. Mereka hanya rakyat kecil yang tidak tahu apa-apa.
Jembatan inilah tempat mereka bisa bertemu tanpa paspor. Melepas rindu yang membuncah di dada mereka. Mereka saling mengusapkan hidung sebagai tanda salaman, seperti Suku Maori di Selandia Baru. Kemudian cium pipi, cium tangan bagi yang muda dan air mata bercucuran di sana.
"Kami menilai kondisi di Timor Leste sudah membaik, kami pikir sudah waktunya ini dikembalikan ke tempat asalnya. Mereka sudah bisa menjaga kembali pusaka itu," kata Vicente.
![]() |
Meskipun sudah berpisah negara, hati mereka tidak bisa terpisahkan selamanya. Pada akhirnya, waktu juga yang memisahkan mereka. Rombongan Indonesia kembali ke Kenebibi, rombongan Timor Leste kembali ke Atabae.
Beberapa foto selfie jadi oleh-oleh pertemuan keluarga yang mengharukan itu di Jembatan Motaain. Omong-omong, tahukah apa arti kata Motaain? Artinya adalah Air Mata....
Simak kisah-kisah lain petualangan ke Atambua di Tapal Batas Detikcom
![]() |
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum