Inilah Upacara Penyucian 30 Tahun Sekali di Bali

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Inilah Upacara Penyucian 30 Tahun Sekali di Bali

Prins David Saut - detikTravel
Selasa, 25 Apr 2017 19:15 WIB
Foto: Upacara Adat Padudusan Agung di Bali (David Saut/detikTravel)
Badung - Banyak upacara adat di Bali, namun yang satu ini hanya dilakukan tiap 30 tahun sekali. Namanya Padudusan Agung, seperti apa ya?

detikTravel berkesempatan mengikuti jalannya upacara yang dikenal dengan nama Karya Mamungkah, Ngenteg Linggih Mupuk Pedagingan Lan Padudusan Agung tersebut. Upacara itu digelar di Pura Dalem Panglan, Banjar Panglan, Kapal, Mengwi, Badung, Bali, Selasa (25/4/2017).

"Upacara ini digelar 30 sampai 35 tahun sekali dengan rangkaian dan persiapan yang sangat lama. Belum tentu semasa hidup bisa menyaksikan upacara ini," kata salah satu peserta upacara bernama Susmayanti.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Upacara Padudusan Agung ini jatuh pada hari baik menurut kalendar Hindu-Bali, sehingga upacara digelar sejak pukul 09.00 WITa hingga 01.00 WITa pada Rabu (26/4) nanti. Upacara yang diikuti 471 kepala keluarga di wilayah Panglan ini sangat meriah.

"Jadi pelaksanaannya sudah disiapkan sejak 4 bulan lalu, puncaknya hari ini," ujar Ketua Panitia Karya Mamungkah Banjar Panglan I Gusti Ngurah Suardana di lokasi yang sama.

Kemeriahan terasa ketika ritual Pucak Karya dimulai pukul 09.00 WITa dengan alunan gong dan kidung serta gamelan khas Bali atau disebut selonding. Lalu, peserta upacara terhipnotis oleh penampilan tarian sakral Topeng, Baris Gede, Rejang dan pertunjukan Wayang Lemah.

Sejumlah pertunjukan itu digelar di tengah tumpukan sesajian yang berupa hewan-hewan ternak dan hasil pertanian serta buah-buahan. Tampak belasan altar berisi tumpukan sesajian yang diharapkan melancarkan jalannya rangkaian Padudusan Agung.

Upacara dimulai dengan ritual Padudusan Agung dan dipimpin oleh Ida Pedanda Griya Alang Kajeng Nongan Karangasem dan Ida Pedanda Griya Gede Banjar Cau Blayu. Ritual Padudusan Agung ini bertujuan untuk menyucikan manusia dan lingkungan agar selalu diberi keselamatan.

Ritual dilanjutkan dengan Peselang yang dipimpin oleh Ida Pedanda Griya Carik Yang Batu Denpasar dan Ida Pedanda Griya Budha Banjar Jadi Tabanan. Peselang bertujuan untuk mengajarkan cinta kasih melalui beragam simbol yang dimanifestasikan sebagai bentuk dewa-dewa turun ke Bumi.

Peselang ini berupa altar atau bale yang dipenuhi dengan beragam sesajian dengan sejumlah topeng di tengah-tengahnya. Topeng-topeng itu sebagai simbol dewa yang turun ke tengah manusia dalam berbagai wujud.

Ritual kemudian dilanjutkan dengan Ngewacen Ring yang dipimpin oleh Ida Pedanda Griya Simpangan Buduk, Ida Pedanda Griya Agung Abiansemal dan Tapini (Griya Sideman Guling). Lalu disusul dengan ritual Padanan oleh Ida Pedanda Kamasan Kemenuh Jempayah, Ida Pedanda Alang Kajeng Nongan Karangasem dan Ida Pedanda Griya Sideman Gulingan Mengwi (Nodia).

Dalam prosesinya, sejumlah peserta upacara mengelilingi sebuah bale di tengah pura dengan memegang kain putih panjang. Di bawah kain putih itu ada barisan wanita yang berlutut, lalu sejumlah sesajian yang telah diberkati oleh Ida Pedanda diputar di atas kain putih sebanyak tiga kali.

Setelah ritual ini selesai, beberapa pengunjung berebut beras kuning yang tertumpah dari sesajian untuk mendapatkan berkah. Ritual dilanjutkan dengan persiapan puluhan peserta membawa sesajian di atas kepala mereka untuk mengelilingi Peselang di depan gerbang pura juga sebanyak tiga kali.

Upacara hari ini merupakan puncak rangkaian ritual yang sudah digelar sejak 10 Januari 2017 lalu. Total ada 29 rangkaian upacara, dan ritual terakhir akan jatuh pada 6 Mei 2017 dengan pertunjukan sakral Calonarang yang tak jarang membuat salah satu peserta mengalami kesurupan.

"Hari ini puncak acara Padudusan Agung. Sudah terlaksana Paselang dan Padanan. Nanti terakhir, kemungkinan malam ini akan arakan keliling Panglan," ujar Suardana.

Rangkaian upacara ini dikenal sebagai ritual penyucian dengan rentang waktu selama lebih dari 30 tahun sekali. Rentang waktu itu guna mengingatkan generasi penerus arti penting menjaga keajegan adat dan budaya Bali serta agama Hindu.

"Saya usianya sudah 60 tahun, baru kali ini saya mengikuti dan menyaksikan upacara ini. Ini bisa sampai 100 tahun sekali, bahkan bisa saja ada yang seumur hidupnya belum pernah menyaksikan upacara ini," ujar peserta upacara lainnya bernama Ketut. (aff/aff)

Hide Ads