Kota Cilegon dijuluki sebagai Kota Baja karena di sana berdiri pabrik pengolahan baja terbesar se-Asia Tenggara. Ya, Krakatau Steel berdiri gagah di kota itu. Pun, beberapa industri mulai dari petrokimia hingga tekstil ikut meramaikan pertumbuhan industri di Kota Cilegon.
Alhasil, banyak orang mengenal Cilegon sebagai kota dengan berbagai macam pabrik. Tak ayal, pemerintah kota coba mencari celah agar sektor pariwisata dapat berkembang menambah pendapatan asli daerah dengan adanya wisata industri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
(Muhammad Iqbal/detikTravel) |
Jarak tempuh dari pusat Kota Cilegon hanya memakan waktu sekitar 20 menit. Jika ditempuh dari Jakarta akan memakan waktu 2-3 jam perjalanan. Untuk menuju ke Batu Lawang, wisatawan dapat keluar di Cilegon Barat kemudian belokkan kendaraan Anda ke arah Merak. Tepat di sebelah kanan jalan, ada gapura kecil yang biasa digunakan sebagai ojek pangkalan.
Setibanya di sana, jalan menanjak akan mewarnai perjalanan Anda untuk dapat tiba di bukit Batu Lawang. Dari gapura itu wisatawan hanya memerlukan waktu sekitar 10 menit untuk sampai di titik pemberhentian.
(Muhammad Iqbal/detikTravel) Foto: undefined |
Wisatawan hanya perlu merogoh kocek seikhlasnya, namun biasanya orang-orang yang berkunjung ke Batu Lawang membayar Rp 5.000 sebagai tiket masuk sekaligus biaya parkir kendaraan.
Jika cuaca sedang bersahabat dan tak banyak kabut, bangunan industri dan perumahan warga Cilegon akan nampak jelas. Keindahan Kota Cilegon akan terlihat dari sana.
Lautan lepas Selat Sunda yang berada di sebelah kanan tampak samar-samar, di sebelah kiri terlihat perairan Banten yang biasa disebut perairan Bojonegara.
Karena pengelolaan wisata itu tak dapat suntikan dari pemerintah, maka para pemuda dan warga setempatlah yang mengelola secara sukarela. Batu Lawang dibuka untuk umum sejak 5 tahun lalu. Para pengunjung pun masih berasal dari Cilegon dan Serang, hanya sedikit wisatawan yang berasal dari luar Banten.
(Muhammad Iqbal/detikTravel) |
"Contohnya biaya kematian jika ada orang yang meninggal sama biaya buat bantu kalau ada orang yang sedang sakit," ujarnya.
Ia mengatakan bahwa beberapa kali pemerintah setempat mewacanakan untuk menata kawasan wisata itu, namun realisasinya tak kunjung terlihat. Maka, ujar Saefulloh, tata kelola wisata alam itu saat ini hanya seadanya.
"Beberapa tahun lalu pihak desa dan kota pernah mewacanakan itu (pengelolaan wisata) tapi sampai sekarang nggak pernah kelihatan," tuturnya. (krn/krn)












































(Muhammad Iqbal/detikTravel)
(Muhammad Iqbal/detikTravel) Foto: undefined
(Muhammad Iqbal/detikTravel)
Komentar Terbanyak
Pembegalan Warga Suku Baduy di Jakpus Berbuntut Panjang
Denda 50 Kerbau Menanti Pandji Pragiwaksono usai Candaan Adat Toraja
Kesan Turis soal IKN: Seperti Singapura, tapi Aneh dan Sepi