Traveler yang besar dan lahir di daerah Jawa Tengah pada era perjuangan hingga tahun 70-an tentu pernah menyesap nikmatnya limun, minuman gula alami bersoda dengan aneka rasa yang menyegarkan.
Jauh sebelum ada aneka softdrink dan minuman cola, limun sudah lebih dulu menghiasi meja makan dan warung-warung saat itu. Namun tidak hanya menjadi warisan cerita dari masa lalu, masih ada minuman limun yang diproduksi secara semi-tradisional di Pekalongan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
"Itu pertama kali kakek buyut (Njoo Giok Lien) saya bikinkan di Kedungwuni (Kecamatan di Pekalongan - red) setelah merintis ke sana. Dulu 1920 ngerintis, 1923 pindah sini. Awalnya bikin minuman sirup gitu belum ada gasnya, kemudian seiring waktu usahanya makin berkembang pindah ke Pekalongan sini," kenang Bernardi.
Sebelum berubah nama menjadi Limun Oriental Cap Nyonya seperti sekarang, dahulu minuman limun itu memiliki nama awal Fabriek Lemonade en Mineral Water Njoo Giok Lien. Resepnya pun dipelajari langsung dari Belanda saat itu.
"Kakek saya dulu belajar bikin dari Belandanya sendiri, diajarin cara bikin minuman berkarbonasi. Dulu kan dia sekolah belanda sampai SMU. Jadi bisa bikin yang bersoda itu ditambahin gas," cerita Bernardi.
Berbekal ilmu dari Belanda, kakek buyut Bernardi pun berhasil memproduksi 9 varian rasa minuman limun. Yakni rasa nanas, kopi moka, jeruk, framboze, sirsak, lemon, anggur, leci dan korma. Namun kini, hanya tersedia 6 rasa saja.
Jatuh Bangun
Dalam perjalanannya, Limun Oriental Cap Nyonya pun juga mengalami jatuh bangun. Namun berkat usaha dan konsistensi, limun ini bisa jadi merupakan salah satu yang masih tersisa dan bertahan hingga saat ini.
"Jatuh bangunnya ketika minuman cola fanta itu masuk mulai turun pasarnya, tahun 80an mulai turun banyak. Jayanya 60-70an," ujar Bernardi.
![]() |
"Dulu truk-truk kan datang per botol itu nyucinya banyak sampai malam. Kalau segini nyuci segitu tiga jam kelar itu, 20 krat-an gitu mah. Produksi sejam itu bisa 500 botol, 2 jam itu 40 petian, 48 maksimal," ujar Bernardi.
Pembuatannya masih semi-tradisional
Beruntung, detikTravel pun juga diperbolehkan melihat langsung proses pembuatan limun di pabrik yang terletak di belakang kafenya langsung. Semuanya masih dilakukan secara semi-manual atau tradisional oleh delapan pekerja.
"Dulu sekitar 20an, 22. Itu di SIUP kan masih ada tulisannya tahun 84, sekarang 8 orang, menurun seiring jumlah produksinya dikit," ujar Bernardi.
Masuk ke dalam pabrik, proses pertama yang dilakukan adalah penggosokan botol limun yang dilakukan secara manual oleh para pekerja yang didominasi orang tua. Dengan menggunakan sikat panjang, dengan cekatan mereka menggosok dasar botol limun.
![]() |
Usai diberi essence, proses berikutnya adalah mengisi setiap botol dengan air berkarbonasi. Setiap botol limun itu ditaruh ke sebuah alat yang mengalirkan air soda. Setelah diisi, setiap limun pun disegel dengan tutup botol yang di-press secara manual.
![]() |
Harga sebotol limunnya dihargai Rp 5 ribu dan Rp 7 ribu jika dibawa pulang. Limun Oriental Cap Nyonya buka setiap hari kecuali hari Jumat dan libur nasional dari pukul 09.00-16.00 WIB.
(rdy/rdy)
Komentar Terbanyak
Study Tour Dilarang, Bus Pariwisata Tak Ada yang Sewa, Karyawan Merana
Penumpang Pria yang Bawa Koper saat Evakuasi Pesawat Dirujak Netizen
Suhu Bromo Kian Menggigit di Puncak Kemarau