Ngaben, Upacara Kematian Asli Indonesia yang Makin Langka di Bali

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Merayakan Kematian

Ngaben, Upacara Kematian Asli Indonesia yang Makin Langka di Bali

Prins David Saut - detikTravel
Kamis, 02 Nov 2017 07:50 WIB
Upacara Ngaben di Bali (Dok. Reuters)
Jakarta - Ngaben adalah upacara kematian khas Hindu-Bali yang masih digelar hingga saat ini. Namun wisatawan jarang tahu karena hanya digelar pada saat tertentu dalam kalender Saka Bali.

Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Prof I Gusti Ngurah Sudiana menyatakan upacara ngaben terus digelar masyarakat Hindu-Bali. Ngaben sendiri berarti api yang menyucikan dan dipahami sejak zaman dulu sebagai proses penyucian.

"Kalau zaman dulu, ngaben menurut agama Hindu-Bali itu Samskara yang artinya penyucian. Proses penyucian itu mengembalikan 5 unsur tubuh manusia ke asalnya, panca maha bhuta, yaitu tanah, air, api, angin dan ruang," kata Prof Sudiana kepada detikTravel, Selasa (31/10/2017).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Itu dikembalikan ke alamnya melalui proses pembakaran dan seluruh prosesnya disebut Samskara. Abunya lalu dihanyutkan ke laut atau sungai supaya cepat kembali ke asalnya," pungkasnya.

Ngaben di Bali disebut Prof Sudiana pasti digelar masyarakat Hindu-Bali karena upacara ini tergolong Pitra Yadnya atau ditunjukkan oleh leluhur. Prosesi upacara ngabena memakan biayanya yang mahal karena menggunakan bade atau wadah berbentuk sapi atau menara, dikenal sebagai sarkofagus, sebelum jenazah disucikan dengan api dan menjadi abu.

"Kalau di Bali, mampu tidak mampu itu ngaben tetap dijalankan. Ada beberapa jalan, yang mampu dilakukan oleh keluarganya sendiri dan kadang ada yang ikut juga. Jalan kedua itu ngaben bersama-sama atau massal, itu biaya murah dan dilaksanakan dengan sistem adat," ujar Prof Sudiana.

"Dan sistem ini yang mendukung bagi yang tidak mampu dengan cara subsidi silang. Ngaben itu selalu dilaksanakan masyarakat Hindu di Bali, kecuali tidak ada yang meninggal," paparnya disusul tawa.

Sementara, kesan jarang digelar yang kerap dilontarkan sebagian turis asing dan domestik karena ngaben tidak bisa digelar setiap hari. Ada hari-hari khusus dalam penanggalan Saka Bali untuk menjalan ritual ini agar nilai-nilai suci dan sakral terjaga dari energi jahat.

"Ngaben ini sepanjang ada orang meninggal dan pas hari baik, maka orang Bali itu merencanakan pengabenan. Jadi tidak bisa lepas dari hari baik," ucap Prof Sudiana.

Penggunaan bade berupa sapi atau menara dan iringan gamelan dalam prosesi ngaben disebut bisa menjadi obyek wisata desa-desa adat di Pulau Dewata. Tidak setiap hari prosesi upacara ini digelar sehingga penyelenggara ngaben bisa memberitahukan pihak dinas terkait jika keluarga yang berduka bersedia diikuti oleh turis asing dan domestik.

"Sebenarnya, ngaben yang menarik wisatawan itu ketika ada yang digelar keluarga bangsawan seperti di Gianyar. Sedangkan ngaben biasa jarang dilihat wisatawan. Ngaben itu mereka tahu kan juga dari media sosial," ungkap Prof Sudiana.

"Karena tidak tentu harinya, kalau sekarang ada ngaben maka bisa diinformasikan ke Dinas Pariwisata yang diteruskan ke agen-agen travel. Itu bisa menjadi daya tarik dan tidak mengurangi nilai sakral dari prosesi itu," paparnya. (fay/msl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads