Khidmat 'Mengaji Rasa' di Kampung Adat Cireundeu

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Khidmat 'Mengaji Rasa' di Kampung Adat Cireundeu

Yudha Maulana - detikTravel
Kamis, 31 Okt 2019 13:50 WIB
Lelaki di Kampung Adat Cirendeu, Cimahi (Yudha Maulana/detikcom)
Cimahi - Indonesia memiliki begitu banyak kearifan adat yang bisa diselami. Salah satunya adalah di Kampung Adat Cireundeu, Cimahi.

Sayup-sayup bunyi seruling yang dimainkan pemuda, berpadu harmonis dengan riak riang anak-anak yang bermain di depan Bale Saresehan yang berada di jantung Kampung Adat Cireundeu.

Kampung ini berada di pinggiran Kota Cimahi, tepatnya di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat. Lokasinya berada di lembah Gunung Gajahlangu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Masyarakat yang tengah mengolah singkongMasyarakat yang tengah mengolah singkong (Yudha Maulana/detikcom)
Di belakang bale, belasan ibu hiruk pikuk mengolah singkong menjadi rasi yang siap dimasak. Rasi merupakan kependekan dari beras singkong. Sejak 1924, masyarakat adat menjadikan tanaman palawija tersebut sebagai makanan pokok.

Mereka pantang untuk memakan nasi karena aturan adat. Kepercayaan itu mereka pegang teguh, hingga terciptanya kemandirian pangan di tengah kondisi lahan tanam yang semakin sempit.

Berpindahnya konsumsi beras ke singkong ini, erat kaitannya dengan masa Kolonial Hindia Belanda di Tatar Priangan. Saat itu, warga terdesak hingga akhirnya sesepuh Ambu Omah Asnamah menanam singkong.

Singkong juga dipilih karena lebih mudah ditanam dan tak memerlukan banyak air. Warga bercocok tanam singkong di Leweung Baladahan atau hutan adat yang dikhususkan untuk berkebun.

Di kampung ini, detikcom menemui Abah Widia, Ais Pangampih atau penerima tamu Kampung Adat Cireundeu. Ia bercerita tentang kearifan lokal yang masih terjaga di Cireundeu, selain konsumsi rasi.

"Saya selama ini tidak pernah memakan beras, ada orang lain yang tidak percaya dan berkata itu hoaks. Tapi kemudian kita duduk bersama, mengkaji sumbernya dan membuktikan," kata Widia.

Menghargai Kearifan Lokal Cimahi di Kampung Adat CireundeuAbah Widia, penerima tamu di Kampung Adat Cirendeu (Yudha Maulana/detikcom)
"Itu namanya Sawala, artinya kita harus berundingkan dulu untuk mengecek kebenaran dan sumber informasi," ucap Widia yang menyebut ajaran itu dituturkan lewat lisan.

Berbeda dengan kampung adat lainnya yang cenderung tertutup, masyarakat Kampung Adat Cireundeu cenderung lebih terbuka dalam menerima perubahan zaman. Warga di kampung ini menerima teknologi dan pendatang dengan terbuka.

Pasalnya, prinsip 'Miindung ka waktu, Mibapa ka zaman' mereka pegang dan hayati hingga kini. Prinsip itu berarti warga adat tidak melawan zaman, namun mengikutinya dengan keyakinan dan identitas diri yang dipertahankan.

Hal itu terlihat dari arsitektur bangunan di Cireundeu yang bermaterialkan tembok bata dan menggunakan teknologi. Pengunjung atau mahasiswa yang ingin melakukan penelitian berlalu lalang di kampung ini setiap harinya dengan leluasa.

Jumlah penduduk adat yang masih teguh memegang ajaran leluhur hanya berkisar 60 kepala keluarga (KK) di Cireundeu. Sisanya merupakan pencampuran dari hasil perkawinan warga lokal dengan warga luar.

Tarian khas Kampung Adat CirendeuTarian khas Kampung Adat Cirendeu (Yudha Maulana/detikcom)
Kendati demikian, warga adat yang memeluk kepercayaan dan warga lainnya yang mayoritas beragama Islam bisa tetap hidup berdampingan dengan damai melalui 'ngaji rasa' yang dihayati secara khidmat oleh masyarakat Cireundeu.

"Ibaratnya jangan suka mencubit orang lain, coba dulu mencubit diri sendiri. 'samemeh ngalengkah kudu geus nepi', 'samemeh ngomong kudi geus ngucap', artinya apa yang kita bicarakan atau lakukan harus kita pikirkan konsekuensinya seperti apa terhadap orang lain terlebih dulu," kata Widia.

"Ngaji rasa juga menjadi saringan bagi kita sebelum berucap atau berlaku. Apalagi terhadap informasi yang belum jelas sumbernya, jangan sampai orang lain celaka, hati-hati bila punya mulut, nanti bisa pamali," ujarnya melanjutkan.

Ajaran ini juga tak hanya berlaku bagi ucapan lisan saja, namun juga perilaku. "Ada yang bilang makanan ini enak, jangan langsung dimakan begitu saja. Karena siapa tahu ada kandungan yang berbahaya," katanya.

Widia mengatakan, selain konsumsi rasi. Ajaran 'ngaji rasa' dan 'sawala' akan diteruskan kepada keturunannya kelak. "Ini yang diajarkan oleh nenek moyang kami, agar ada tumbuh rasa silih asah, silih asih, silih asuh," katanya.

Mirip Konsep Tabayun dalam Islam

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Cimahi Alan Nur Ridwan mengatakan kearifan lokal yang digunakan masyarakat Cireundeu dalam menyaring informasi mirip dengan konsep tabayun di dalam Islam.

"Tabayun itu asal katanya dari bayyan, bayyan artinya keterangan yang jelas atau yang nyata. Alquran sendiri namanya Albayyan, sedangkan tabayyun itu adalah usaha mencari sesuatu yang benar, yang nyata dan benar," kata KH Alan saat ditemui detikcom.

Perihal tabayun ini, ujar Alan, tercantum di dalam Surat Al Hujurat ayat ke - 6, yang dimana berbunyi :

'Wahai orang- orang yang beriman, jika ada seorang faasiq datang kepada kalian dengan membawa suatu berita penting, maka tabayunlah (telitilah dulu), agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan, kemudian akhirnya kalian menjadi menyesal atas perlakuan kalian'.

Alan mengatakan, selain itu ada juga Hadits Shahih Bukhari yang menjelaskan, agar manusia berkata yang baik atau diam sama sekali. Terkadang, ucapnya, hal yang benar belum tentu baik bila dibicarakan tanpa memahami konteks situasi dan kondisi.

"Jadi kira-kira kalau dibicarakan berdampak baik, silakan disampaikan. Karena berbicara juga harus melihat timing-nya, apalagi orang yang diajak bicara sedang sedih atau marah," katanya.

Efektif Tanggulangi Terorisme

Penguatan kearifan lokal sebagai sarana pencegahan terorisme diungkapkan Direktur Deradikalisasi pada Badan Penanggulangan Nasional Terorisme (BNPT) Irfan Idris.

Dalam pernyataan resminya yang disitat detikcom dari laman resmi BNPT, banyak seni dan budaya di Indonesia yang harus dilihat dengan kacamata keberagaman, bukan keseragaman.

"Sangat banyak kearifan lokal untuk diangkat ke tingkat nasional. Bila ada benturan budaya, bagaimana mengawinkan budaya yang ada," kata Irfan.

Irfan menganalogikan kearifan lokal sebagai imunitas untuk tubuh. Jika kearifan lokal sebuah daerah tidak dijaga dan terus dikuatkan, maka ancaman perpecahan yang berujung pada radikalisme dan terorisme bisa terjadi. "Kapan lemah imunitas Negara, maka akan masuk penyakit dalam kehidupan berbangsa," ucapnya.


(rdy/rdy)

Hide Ads