Festival Kupatan Kendeng, Sebuah Pesan untuk Menjaga Alam

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Festival Kupatan Kendeng, Sebuah Pesan untuk Menjaga Alam

Putu Intan - detikTravel
Rabu, 03 Jun 2020 20:20 WIB
Festival Kupatan Kendeng
Festival Kupatan Kendeng 2020. (Foto: dok. JMPPK)
Jakarta -

Lebaran memang sudah lewat namun suka citanya masih terasa di Kendeng, Jawa Tengah. Tepat seminggu setelah lebaran, masyarakat di sana punya tradisi unik yang disebut Festival Kupatan Kendeng. Seperti apa ya?

Festival Kupatan Kendeng merupakan tradisi tahunan yang dilaksanakan tiap 5 Syawal yang bertempat di Desa Tegaldowo, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang. Tujuan pelaksanaannya adalah untuk mengingatkan masyarakat mengenai pentingnya menjaga alam.

Tahun ini, festival tersebut tetap berlangsung namun tidak dapat dinikmati oleh masyarakat umum. Salah satu warga Kendeng, Sukinah, berbagi cerita mengenai Festival Kupatan Kendeng 2020 melalui Zoom Meeting yang diadakan Komunitas Koko Jali.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Hari Kamis diadakan. Dulu teman-teman dari luar bisa datang ke Desa Tegaldowo tapi karena sekarang itu ada pandemi COVID-19, jadi teman-teman tidak datang. Kupatan Kendeng tetap diadakan walaupun kami pakai social distancing, pembatasan, tidak begitu banyak pesertanya, sekitar 50 lebih," kata Sukinah.

Sukinah juga menjelaskan prosesi dalam festival tersebut tetap dilakukan secara lengkap. Perbedaannya, jumlah peserta lebih sedikit dan perayaannya tak lagi dipusatkan di Tegaldowo, melainkan di beberapa daerah untuk menghindari kerumunan.

ADVERTISEMENT

Di sisi lain, Founder Koko Jali, Max Andrew Ohandi menceritakan mengenai pengalamannya mengikuti Festival Kupatan Kendeng pada 2019. Ia menceritakan saat itu ada tiga rangkaian prosesi dalam festival ini yakni Temon Banyu Beras, Dono Weweh Kupat lan Lepet, dan Lamporan.

Festival Kupatan KendengProses pembuatan ketupat. (Foto: dok. JMPPK)

Temon Banyu Beras merupakan prosesi mempertemukan air dengan beras dalam bentuk ketupat atau kupat. Prosesi ini mengingatkan masyarakat bahwa tanpa air, mereka tak akan dapat hidup. Air juga lekat dengan masyarakat Kendeng yang menggantungkan hidupnya dari bertani.

"Pagi-pagi para petani Kendeng mencari sumber air dari gunung karst (gunung kapur). Air ini melambangkan sebuah kehidupan. Jadi, kamu hidup selaras dengan alam, kamu tidak akan miskin," kata Andrew.

Setelah itu, dalam prosesi Dono Weweh Kupat lan Lepet, ketupat-ketupat yang sebelumnya sudah dibuat itu digotong dan diarak keliling desa. Lalu ketupat ini dibagikan kepada masyarakat desa.

"Mereka bukan hanya sekadar bagi-bagi ketupat tapi mereka juga memberitahu bagaimana masyarakat harus menjaga alam. Siapa musuh mereka sebenarnya yang merusak Gunung Kendeng," ujar Andrew.

Ketika memberitahu masyarakat, para petani Kendeng yang mengarak ketupat itu mengandalkan tulisan-tulisan ilmiah. Sehingga Andrew menyebut para petani ini cerdas dalam mendidik masyarakat terutama anak-anak sebagai penerus mereka.

Festival Kupatan KendengFestival Kupatan Kendeng 2020. (Foto: dok. JMPPK)

Prosesi ketiga adalah Lamporan yaitu pengusiran hama pertanian seperti belalang dan tikus. Di masa kini, hama ini juga mencakup hal-hal lain yang menghambat pertanian di sana seperti pabrik semen yang merusak ekosistem Kendeng.

"Di Lamporan ini ada tokoh-tokoh agama seperti kyai, pastor, jadi lintas agama, berdoa secara bergantian. Sambil menyampaikan pesan menjaga lingkungan," ujar Andrew.

Dari pengalaman Andrew mengikuti festival tersebut, ia tak hanya diajak untuk mengikuti segala prosesi tadi. Ia juga sempat mengunjungi potensi wisata alam di Kendeng seperti Gua Lowo,Gua Joglo, dan Gua Pancur yang juga dirawat dengan baik oleh masyarakat Kendeng.

Goa Lowo, KendengGoa Lowo (Foto: dok. Koko Jali)

"Gua itu indah banget dan luar biasa banget. Di gua itu banyak sekali kelelawar. Para kelelawar ini bisa menyuburkan sawah dan melawan hama. Kelelawar ini seperti temannya petani Kendeng," Andrew menjelaskan.

Kecintaan masyarakat Kendeng pada lingkungan ini memang sudah diajarkan secara turun-temurun, terutama bagi kelompok masyarakat Wong Sikep atau Sedulur Sikep atau oleh masyarakat awam lebih dikenal sebagai Orang Samin.

Dikutip dari situs Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), doa dari orang Samin memang selalu berhubungan dengan keadaan ekologi dan ekosistem di mana mereka berdomisili. Hal itu dikonfirmasi tokoh adat Samin sekaligus Ketua Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK), Gunretno yang juga menyampaikan pesan mengenai pentingnya menjaga bumi.

"Ibu bumi wis maringi (Ibu bumi sudah memberi). Ibu bumi itu yang selalu kita pijak, yang selalu memberi kehidupan dari mulai berbagai bentuk tanaman yang hasilnya bisa untuk kebutuhan hidup. Ibu bumi yang selalu dikotori tapi selalu memberi kehidupan. Tapi kenapa sedulur tidak eling (saudara tidak ingat) terhadap ibu bumi itu? Maka ketika ibu bumi sudah memberi kok malah disakiti, inilah ibu bumi yang akan mengadili," kata Gunretno.

Gunretno juga mengaitkan pernyataannya itu dengan pandemi COVID-19 yang terjadi saat ini. Menurutnya pandemi ini menjadi momentum agar pemimpin dan masyarakat lebih peduli pada bumi tempat manusia hidup.

"Corona ini sebenarnya cukup membantu menjadikan orang-orang sadar bahwa kita itu berpijak di bumi ini. Kita hidup ini pentingnya untuk membangun keseimbangan alam. Dengan adanya Corona ini mulai ada kesadaran itu. Corona ini harusnya menjadi introspeksi sedulur (saudara) semua. Ketika belum, mungkin bentuk-bentuk bencana atau pageblug tidak hanya Corona yang akan datang," ujar Gunretno.




(pin/ddn)

Hide Ads