Di Surabaya, ada destinasi wisata religi yang diselimuti cerita-cerita tak masuk akal. Destinasi itu adalah Pesarean Raden Ayu Pandan Sari. Bagaimana kisahnya?
Raden Ayu Pandan Sari merupakan orang yang babat alas alias membuka kawasan Kalibutuh, Surabaya. Makam atau pesareannya kini dikunjungi banyak peziarah untuk berdoa dan wisata religi.
Di balik wisata religi itu, ada banyak cerita yang kurang masuk akal dan sulit dicerna dengan logika terjadi di tempat tersebut. Cerita itu telah dituturkan dari masa ke masa oleh warga yang tinggal di sekitar pesarean.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seperti cerita maling yang tiba-tiba tak terlihat setelah bersembunyi di komplek makam atau pesarean Raden Ayu Pandan Sari yang terjadi pada era tahun 1980-an.
"Tau ono sing diuber polisi limo, siang-siang turu nang mburine mbah (Pernah ada yang dikejar lima polisi, siang-siang tidur di belakang Makam Raden Ayu Pandan Sari) gak ketok," kisah Samad, Pembina Pesarean Raden Ayu Pandan Sari.
Samad mengatakan, dahulu kala, siapapun yang datang ke pesarean tapi tidak mengucap salam, akan mendapat malapetaka. Samad menuturkan, orang-orang yang seperti itu, diyakini akan sekonyong-konyong lumpuh ketika menginjakkan kaki di area makam.
Samad juga menjelaskan mengapa tidak ada dokumentasi pesarean tersebut di masa lampau. Selain karena di zaman dulu hanya sedikit orang yang memiliki kamera, ia meyakini makam ini tidak bisa didokumentasikan.
"Dulu ceritanya kalau difoto, nggak bisa keliatan makamnya. Jadi seperti hilang di kamera," ucapnya.
Samad menjelaskan, ada tradisi sedekah bumi untuk memeringati Haul Raden Ayu Pandan Sari yang rutin dilakukan oleh masyarakat Kalibutuh Timur, Tembok Dukuh, Bubutan, Surabaya.
Menurut Samad, tradisi ini sudah ada sejak zaman nenek moyang. Tradisi sedekah bumi pada zaman dahulu itu lebih mengedepankan kesenian daerah. Pertunjukan ludruk dan ketoprak sering ditampilkan di malam sedekah bumi kala itu.
Namun yang cukup disayangkan, Haul Raden Ayu Pandan Sari di waktu lampau malah jauh dari nilai-nilai keislaman. Menurut Samad, hal seperti ini terjadi hingga akhir 1990-an.
"(Sedekah bumi sudah ada) mulai (zaman) nenek moyang. Cuma dulu itu kan orang-orang tua bikin tayub, minum-minum," kata Samad.
"Semenjak RW Pak Budiono sebelum (tahun) 2000, itu mulai diubah. Jadi minum-minum, ndak ada. Diganti istigasah, yasin tahlil, sama ritual," sambungnya.
Sedekah bumi yang dilakukan setiap tahun pada bulan Selo (Dzulqodah) ini, sekarang lebih mengedepankan nilai religius dan gotong royong warga. Biasanya, acara ini diselenggarakan selama dua hari dengan berbagai kegiatan.
"Hari pertama pagi khataman, terus malamnya istigasah, yasin, tahlil, dilanjut menghias becak per RT. Besok paginya, ritual keliling arak-arakan becak dan tumpeng," terang pria yang juga menjabat sebagai Ketua RW 7 Kalibutuh Timur itu.
Arak-arakan digelar dengan berkeliling wilayah Kalibutuh. Rute yang biasa dilalui adalah Jalan Tidar - Jalan Patua - Jalan Tembok Dukuh - Jalan Kalibutuh - Jalan Tembok Sayuran - Jalan Tidar.
"Setelah ritual keliling yang dimeriahkan oleh reog, lalu (konser) campursari," tandas Samad.
-------
Artikel ini telah naik di detikJatim.
(wsw/wsw)
Komentar Terbanyak
Penumpang Hilang HP di Penerbangan Melbourne, Ini Hasil Investigasi Garuda
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Ada Apa dengan Garuda Indonesia?