Menggapai Puncak Tertinggi Sedunia, Bagaimana Caranya?

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Travel Highlight Gunung

Menggapai Puncak Tertinggi Sedunia, Bagaimana Caranya?

- detikTravel
Kamis, 12 Sep 2013 13:20 WIB
Sofyan dan Frans di Puncak Everest (dok. Tim ISSEMU)
Kathmandu - Gunung Everest di Nepal mungkin jadi tempat yang paling diimpikan pendaki. Bukannya tak mungkin pendaki asal Indonesia berdiri di puncaknya, yang adalah tertinggi di dunia. Pendaki dari Indonesia Seven Summit memamparkan caranya.

Everest bagai permata dari Pegunungan Himalaya. Pendaki dari seluruh dunia memadati Distrik Solukhumbu, Taman Nasional Sagarmatha, Nepal, demi berjuang mencapai puncak gunung tertinggi di dunia.

Tapi, mendaki Gunung Everest bukan main sulitnya. Butuh belasan hari, bahkan bulanan, agar bisa mencapai puncaknya di ketinggian 8.848 mdpl.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sofyan Arief Fesa adalah salah satu pendaki Indonesia yang berhasil berdiri di puncak Everest. Di usianya yang ke-30, pria ini telah mencapai 7 puncak tertinggi di dunia alias World Seven Summit.

"Saya melakukan pendakian 7 puncak tertinggi di dunia mulai 2009-2011. Sampai saat ini baru ada 8 Seven Summiters dari Indonesia," tutur Sofyan saat dihubungi detikTravel, Kamis (12/9/2013).

Pada 2006, anggota Mahitala Universitas Parahyangan itu mengunjungi Everest Base Camp (EBC) di ketinggian sekitar 5.000 mdpl. Lima tahun kemudian, ia pun kembali untuk mencapai puncak Everest. Tiap pendaki yang ingin mencapai puncak Everest harus mengurus administrasi di Kathmandu, tepatnya di Nepal Mountaineering Association (NMA) atau Kementerian Pariwisata setempat.

"Untuk permitnya tiap orang harus bayar, kira-kira Rp 100 juta," kata Sofyan.

Mahal? Ya. Sofyan menuturkan, kalau ditotal, pendaki yang ingin mencapai puncak Everest harus merogoh kocek Rp 500 juta-1 miliar. Masuk akal, mengingat persediaan logistik dan peralatan selama berbulan-bulan dalam perjalanan dari dan menuju puncak Everest.

Dari Kathmandu, pendaki harus naik pesawat sampai titik pendakian pertama yakni Lukla. Sofyan, yang waktu itu mendaki puncak Everest bersama 3 pendaki lain asal Indonesia, membawa persediaan logistik sebanyak 7 ton.

"Jadi kita dari Lukla sampai EBC bawa 70 yak. Seperti menggembala!" ujarnya, tertawa.

Dari EBC menuju puncak Everest, ada hal penting yang harus diperhatikan pendaki. Tiap mendaki 1 camp, pendaki harus kembali lagi ke camp sebelumnya untuk menginap. Ini dilakukan untuk aklimatisasi, agar tidak terjadi hipotermia atau Acute Mountain Sickness (AMS).

"Jadi dari EBC kita jalan ke camp 1, kemudian kembali ke EBC untuk berkemah malamnya. Besoknya lagi, lanjut ke camp 1 dan 2, lalu kembali ke camp 1 untuk bermalam. Begitu seterusnya sampai camp 4 dan puncak," kisahnya.

Perjalanan menuju puncak, lanjut Sofyan, sulitnya luar biasa. Badai salju pun sering menghadang. Bayangkan angin kecepatan 80 km/jam, namun dengan suhu -20 derajat Celcius. Salju dan hujan es menghadang, jarak pandang hanya 10-15 meter.

Mulai camp 3, trek yang dilalui juga sangat ekstrem dengan kemiringan 70-80 derajat. Sangat berpotensi terkena longsoran dari atas, apalagi kalau terjadi badai. Oleh karena itu, keahlian dan kehati-hatian pendaki sangat penting saat mendaki Everest.

Sofyan tidak main-main. Dia tak pula sembarangan memotivasi pendaki agar menginjakkan kaki di puncak Everest.

"Keahlian, stamina, peralatannya nggak boleh main-main. Nggak boleh salah aklimatisasi juga, harus benar-benar dijaga ritmenya. Seenggaknya, harus sudah pernah mendaki 2-3 gunung es sebelumnya," tegasnya.

Mahal dan sulit. Dua kata itu mungkin bisa menggugurkan semangat para pendaki yang ingin berpijak di puncak Everest. Tapi dengan usaha dan doa, Sofyan menekankan, tak ada yang tak mungkin.

"Yang paling membanggakan, adalah membawa nama Indonesia di kalangan Seven Summiters dari berbagai negara. Seperti jadi duta Indonesia, meski dalam bidang mountaineering," tuturnya.


(sst/sst)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads