Ketika Orang Amerika Lebih Menghargai Patung Suku Asmat

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Laporan dari AS

Ketika Orang Amerika Lebih Menghargai Patung Suku Asmat

Ari Saputra - detikTravel
Rabu, 16 Sep 2015 07:16 WIB
Patung Asmat di De Young Museum (Ari Saputra/detikTravel)
San Francisco - Seringkali kita memandang sebelah mata terhadap seni ukir suku-suku yang ada di Indonesia. Kuno dan ketinggalan zaman, begitulah kesannya. Padahal di Amerika Serikat sana, ukiran Suku Asmat ditaruh dalam tempat terhormat.

Patung kayu berukir khas Papua, orang-orangan dari jerami dengan topeng kulit kayu setinggi pria dewasa dan beberapa tengkorak. Ketiganya, beserta puluhan jejak artefak Asmat yang lain dipamerkan dalam ruang kaca yang sejuk. Semua dipajang dalam displai menarik dengan lampu sorot yang dikhususkan untuk menghidupkan karakter salah satu suku di Papua tersebut.

Beberapa turis menikmati artefak itu. Setidaknya terlihat dari mata-mata yang antusias dan menyelidik hampir setiap detil artefak yang dipajang. Mungkin mereka mengira-ira, bagaimana kehidupan sehari-hari Suku Asmat berlangsung. Itulah suasana di De Young Museum, di Golden Gate Park, San Franciso. Suku Asmat jaraknya separuh keliling planet Bumi dari museum itu.
Β 
"Asmat merupakan bagian dari koleksi seni Oseanic (negara dan suku-suku yang bermukim di kawasan Samudera Pasifik-red). Ia mulai mengisi museum ini sejak tahun 1930, sejak Harriet Newton Dimond melakukan perjalanan ke pasifik dan menyumbang 70 karya, termasuk ukiran dan kain dari Papua," demikian informasi digital yang dinikmati detikTravel ketika berkunjung ke museum itu beberapa waktu lalu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bersama artefak lain dari Papua -termasuk Papua Nugini- patung dan gerabah kuno tersebut memenuhi lantai dasar De Young museum. Ia bersisian dengan koleksi dari kawasan Pasifik, dari kepulauan Fiji di kepulauan Mikronesia, Aborigin di Australia, Hawai di jantung Pasifik hingga kawasan Maya-Inca di Peru.

Tak hanya itu, De Young menyimpan pula koleksi seni dari Afrika dan AS. Juga karya para seniman kontemporer berbagai genre dalam bentuk patung, fotografi, art paper, lukisan, instalasi multimedia sampai seni kontemporer. Semua diletakkan dalam bingkai terhormat, menarik dan menggugah selera dan nalar.

Tak mengherankan bila pengelola museum sangat berhati-hati, memeriksa semua barang bawaan pengunjun termasuk melarang tongsis dipergunakan di dalam museum. Sementara tas punggung diminta untuk dijinjing.

"Mungkin untuk mengindari tas punggung menyenggol koleksi museum tanpa sengaja," kata Lina, salah seorang turis Indonesia menduga-duga.

Untuk menikmati suasana museum, pengunjung dikenakan tiket US$ 10 (Rp 140 ribu). Namun untuk hari-hari tertentu, pihak museum menggratiskan bagi siapa saja. Kalaupun enggan masuk, bisa menikmati suasana taman De Young dari luar yang menyatu dengan Taman Kota Golden Gate Park.

Kita bisa mengagumi struktur bangunan nyentrik De Young yang didominasi material tembaga dari arsitek asal Swiss, Jacques Herzog dan Pierre de Meuron. Inilah dua arsitek yang merancang Stadion Bayern Munchen dan stadion olimpiade sarang burung di Beijing.

(aff/aff)

Hide Ads