Kisah Gunung yang Terang 24 Jam di Kutub Selatan

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Kisah Gunung yang Terang 24 Jam di Kutub Selatan

Afif Farhan - detikTravel
Rabu, 23 Sep 2015 12:50 WIB
Pendakian ke Vinson Massif (Indonesia Seven Summit Expedition/Ardeshir)
Antartika -

Vinson Massif di Antartika merupakan 1 dari 7 puncak tertinggi di 7 benua. Para pendaki yang ke sana akan mendapat pengalaman tiada dua, berupa mendaki gunung yang terang selama 24 jam!

Ardeshir Yaftebbi, salah satu pendaki Indonesia yang menjadi ketua tim Indonesia Seven Summits Expedition, berhasil berdiri di puncak Vinson Masiff pada bulan Desember 2011 silam. Dirinya pun berbagi cerita tentang aneka pengalamannya menarik di sana.

"Yang menarik dari pendakian ke Vinson Massif adalah pendakian hanya dilakukan di musim panas. Saat itu, mataharinya terang 24 jam," katanya kepada detikTravel, Rabu (23/9/2015).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selama musim dingin, tidak boleh yang ada melakukan pendakian ke sana karena cuaca yang sangat ekstrem. Musim panas, puncaknya pada Desember dan Januari. Belum lagi suhunya rata-rata minus 30 derajat.



Di belahan Bumi selatan, musim panas jatuh di akhir tahun, berkebalikan dengan Bumi utara. Bagi Ardeshir, pengalaman itu menjadi salah satu yang tidak akan terlupakan. Ketika waktu sudah menunjukan pukul 24.00, matahari masih terus terang benderang.

Menariknya lagi, ketika itu timnya masuk ke Low Camp (dua basecamp terakhir sebelum High Camp dan lanjut naik ke atas puncak Vinson Massif) di tanggal 30 Desember. Dua hari di sana, untuk pertama kali dalam hidupnya, dia merasakan perayaan pergantian tahun tanpa ada malam Tahun Baru.

"Saat itu di sana ada banyak pendaki, dari Mesir, Amerika dan lain-lain. Jadi kita semua sepakat nentuin waktu dulu, habis itu ngerayain Tahun Baru bareng. Anehlah, malam Tahun Baru kok masih ada mataharinya," kenangnya.



Walau matahari terus bersinar sepanjang hari selama musim panas di Vinson Massif, tetap saja ada kendala yang dihadapi. Semua pendaki seperti katanya tadi, harus menentukan waktu bersama. Kapan waktu yang dianggap siang dan dianggap malam, sehingga bisa beristirahat sama-sama dan tidak menganggu pendaki lain yang sedang beristirahat.

"Kalau kita jalan pas orang-orang lagi tidur kan tidak enak bisa menganggu, mungkin kita mikirnya jalan saja tidak apa-apa. Tapi kalau pendaki lain ternyata waktunya sedang istirahat kan tidak enak. Malam di sana itu tidak ada jadinya kita pakai istilah kalau malam itu bila kita di bawah bayang-bayang gunung. Di bayang-bayang itulah, suhunya bisa minus 40 derajat Celcius," ungkapnya.

BACA JUGA: Inikah Gunung Terbersih di Dunia?

6 Januari 2012, Ardeshir akhirnya berhasil berdiri di Puncak Vinson Massif yang ketinggiannya 4.897 mdpl. Untuk sampai ke puncaknya, tentu bukan yang mudah. Sebab, dia harus memanjat es dengan cara ascending (salah satu teknik panjat tebing).

Di sudut kemiringan 45 atau 60 derajat, kaki harus hati-hati melangkah. Jika tergelincir, akan langsung merosot jatuh ke bawah. Sebab, tidak ada lagi bebatuan atau celah-celah batu karena semuanya sudah es!

Baginya, pendakian ke Vinson Massif adalah salah satu pendakian terberatnya. Cuaca yang minus puluhan derajat Celcius dan trek yang berupa es, membuat para pendaki harus cermat mempersiapkan alat.

"Vinson Massif adalah satu-satunya Seven Summit di dunia yang perusahaan asuransi tidak mau meng-cover. Everest, Denali dan lainnya masih ada, tapi Vinson Massif, mereka (perusahaan asuransi) tidak mau," tegas pria yang juga menjadi anggota Wanadri angkatan 2005 ini.

Maka dari itu, banyak pendaki yang berpikir ribuan kali sebelum mendakinya. Selain itu, faktor harga juga menjadi kendala. Menurut pria asal Aceh ini, harga pendakian ke Vinson Massif adalah paling mahal kedua setelah Everest.



"Operator pendakian mematok harga kira-kira mulai dari USD 32.500 ribu. Biaya pendakian USD 7.500 plus biaya pesawat Punta Arenas-Antarktika USD 25.000 (PP). Cuma ada satu pesawat yang ke sana dari Antarctic Logistics and Expeditions (ALE) yang terbang dari Kota Punta Arenas di Chile. Habis itu, baru naik pesawat baling-baling yang kecil dari Union Glacier terus ke Low Camp," tuturnya.

Ardeshir yang juga sehari-hari menjadi pemandu di Indonesian Mountain Specialist (Imosa) mengakui, terbang ke Chili saja sudah sangat melelahkan. Dari Jakarta ke Dubia, lanjut ke Sao Paulo di Brasil, kemudian ke Paraguay, lalu ke Chili tapi di ibukotanya di Santiago dulu. Barulah kemudian ke Punta Arenas yang berlokasi di bagian paling selatan Chili.

"Alhamdulillah, semua tim selamat dan uniknya kami bisa merasakan pesawat mendarat di atas es. Selama di sana, pemandangannya hanya ada dua saja, langit yang biru dan salju yang putih. Siapa pun asal peralatannya bagus dan dengan izin Tuhan, pasti bisa ke sana," tutupnya.



(aff/adf)

Hide Ads