Traveler dari penjuru dunia rutin datang setiap tahun ke kota ini untuk mengunjungi pameran buku anak terbesar dan terpenting di dunia, Bologna Children's Book Fair. Pada awal April, saya tiba di bandara Bologna sekitar pukul 14.00 siang.
Dengan menyewa taksi, saya menuju hotel yang sudah dipesankan teman saya lewat internet sebelumnya. Ongkosnya habis 10 euro.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Petak yang saya tempati memiliki dua kamar dengan penyekat yang bisa digeser. Setiap kamar ada dua tempat tidur. Dilengkapi seperangkat meja kursi, lemari pakaian dan pantry yang peralatannya hanya dipinjamkan bila menginap lebih dari dua minggu.
Kamar mandi hanya satu dengan perlengkapan mandi yang kurang memadai. Handuk yang ada hanyalah kain putih yang hanya cocok untuk lap. Meski begitu, ada peringatan besar-besar agar berhemat memakai handuk dengan alasan untuk penyelamatan lingkungan.
Selain bunga dandelion yang baru pertama kali itu saya lihat dan pohon-pohon yang mulai berubah warna daunnya karena datang musim semi, hotel itu tidaklah menyenangkan. WiFi dikenakan biaya 2 Euro setiap satu jam dan tidak ada makan pagi gratis.
Untuk sarapan, kita harus beli ke cafe hotel. Pelayan cafe ini sungguh tidak ramah dan penuh hitung-hitungan. Seorang turis Jepang bahkan bersitegang dengan si pelayan perempuan. Si pelayan mengatakan turis Jepang hanya memberi uang 10 Euro padanya. Sedangkan si turis mengaku memberi uang 20 Euro.
Pengalaman buruk juga dialami teman saya. Seorang pelayan laki-laki mempersilakannyaΒ duduk di dalam cafe sambil menunggu pesanannya datang. Namun tidak lama kemudian, si pelayan perempuan memintanya keluar dengan alasan tempat duduk di dalam cafe hanya khusus bagi pengunjung yang memesan menu restoran. Kursi itu pun dikenai biaya sendiri di luar harga makanan.
"Kalau yang gratis silakan di luar," kata pelayan itu dengan nada keras.
Untuk sarapan, saya biasanya hanya memesan croissant ataupun roti albicoca ditambah segelas coklat di kafe itu. Total harganya sekitar empat Euro. Albicoca ternyata sangat manis, sedangkan coklatnya begitu kental.
Untuk makan siang, saya makan di Bologna Fiera alias arena pameran. Untuk makan risotto (nasi khas Italia), seporsi ikan, semangkut salad dan satu botol air mineral, saya biasanya menghabiskan 20 Euro.
Bila bosan, kami akan mencari restoran di pusat kota. Kami pun mencoba restoran Italia. Teman saya penasaran ingin mencicipi spageti bolognesse di tempat aslinya, Bologna.
Menurut teman saya, spageti tersebut enak. Sayangnya spageti itu mengandung babi sehingga saya tidak berani mencobanya. Rata-rata makanan di restoran ini seharga 10-20 Euro. Porsi makanan di restoran Italia ini begitu besar sehingga kita akan sangat kekenyangan bila menghabiskannya sendirian.
Sang koki tidak segan mendatangi kita dan bertanya bila makanan kita tersisa banyak. Ia akan menanyakan apakah masakannya tidak enak. Saya hanya beralasan perut saya sudah penuh kekenyangan. Namun teman saya yang berkata makanan tersebut enak dan berjanji akan menghabiskannya, ia ditunggui sang koki sampai makanan itu habis dimakan.
Bologna sebenarnya kota yang cantik dengan dihiasi gedung dan bangunan bersejarah dari abad ke-16. Banyak kafe dan restoran menghidangkan makanan yang enak-enak. Jalan-jalan rapi dengan sarana transportasi modern yang bisa diandalkan. Bus di sini akan datang tepat waktu sesuai jadwal.
Namun yang menjengkelkan, pengemis dan pencopet di sini sangat nekat. Seorang pengemis di Bologna Fiera memaksa-maksa pengunjung memberinya uang dengan terus membuntutinya ke manapun orang itu berjalan.
Seorang anggota Komite Buku Nasional yang mengelola stand Indonesia di pameran buku ini bahkan kecopetan. Ketika dilaporkan kepada polisi yang berjaga di pameran, sang polisi hanya berkata pencopetan merupakan hal biasa dan selalu terjadi setiap hari di arena pameran.
Saat kami menunggu bus di halte, seorang perempuan berpakaian rapi mendekat. Ia mengiba-iba meminta uang untuk ongkos naik bus.
Yang merepotkan lagi, orang-orang di Bologna kebanyakan hanya berbahasa Italia. Tidak ada orang yang bisa ditanya dalam bahasa Inggris akan membuat kita bingung bila tersesat di jalan. Tapi cukup hafalkan nama bus yang akan anda gunakan, carilah nomor bus itu di halte yang Anda jumpai. Bila ada nomor bus, artinya bus melewati halte tersebut. Ingat juga bus terakhir di Bologna pukul 20.40.
Sopir bus kebanyakan sangat baik. Bila orang asing kebingungan tidak bisa membayar ongkos karena ternyata tidak tersedia kotak koin di bus, alias bus hanya menerima tiket, maka bila berusaha membayar pada sopir, ia tidak mau menerima uang. Jangan takut, itu artinya ongkos kita digratiskan dan akan tetap diantar sampai tujuan. (rdy/fay)












































Komentar Terbanyak
Awal Mula PB XIV Purbaya Gabung Ormas GRIB Jaya dan Jadi Pembina
Fadli Zon Bantah Tudingan Kubu PB XIV Purbaya Lecehkan Adat dan Berat Sebelah
5 Negara yang Melarang Perayaan Natal, Ini Alasannya