Persiapan khusus ini diungkapkan oleh salah satu anggota Mapala UI, Dedi Satria (42). Ia baru saja kembali ke Indonesia setelah mencapai puncak Gunung Vinson Massif di Antartika 6 Januari lalu.
"Ini adalah puncak keempat dalam perjalanan seven summits Mapala UI. Nggak ikut di Kilimanjaro dan McKinley/Denali," jelas Dedi mengawali ceritanya, Kamis (15/2/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Persiapan khusus fisik. Kalau saya lari 10 km, seminggu 5 kali. Aerobik semacam push up, sit up dan lain-lain. Lalu, melatih mental yang harus mencari informasi dari manapun," jelas Dedi.
Dedi bercita pula saat dirinya sampai di Antartika, suhu di sana mencapai -10 derajat Celcius. Lalu semakin ke atas pegunungan semakin turun dan tidak ada malam di Kutub Selatan itu.
Persiapan terakhir yang harus traveler punyai adalah memiliki dana yang cukup. Pendakian puncak gunung tertinggi dunia memang membutuhkan biaya yang terbilang besar.
"Paling tidak bagi seorang pendaki jika ingin mendaki Gunung Vinson Massif sebanyak Rp 500 juta belum termasuk membeli peralatan yang digunakan," ucap Dedi.
"Yang paling mahal itu dimakan oleh biaya transportasi. Karena ada monopoli transportasi dari Chile menuju ke Antartika," pungkas Dedi.
Perjalanan seven summits Mapala UI menjadi pelopor bagi para pendaki di Indonesia. Namun sayang harus terhenti di tengan jalan selama 25 tahun lamanya.
Puncak Gunung Vinson Massif adalah yang keenam digapai tim Mapala UI dan berlanjut ke puncak Everest di tahun 2019 nanti. Hingga saat ini baru satu organisasi mahasiswa yang mampu menggapai Seven Summits, yakni Mahitala Unpar
(msl/fay)
Komentar Terbanyak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Viral Keluhan Traveler soal Parkir Jakarta Fair 2025: Chaos!