Pesan Damai dari Bekasi untuk Indonesia

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Pesan Damai dari Bekasi untuk Indonesia

Johanes Randy Prakoso - detikTravel
Senin, 25 Feb 2019 08:20 WIB
Paduan suara dengan lagu Betawi (Randy/detikTravel)
Bekasi - Warga Bekasi tidak boleh melupakan Kampung Sawah. Desa ini mengajarkan bahwa hidup damai antarumat beragama bukanlah mimpi di Indonesia.

Bicara toleransi beragama di Bekasi, jangan lupa dengan nama Kampung Sawah. Di sana ada 'segitiga emas' dalam bentuk gereja dan masjid yang saling berdampingan.

Jauh sebelum ramai isu SARA, masyarakat Kampung Sawah di Jatisampurna, Bekasi, telah hidup rukun dan guyub sejak dulu. Lewat acara Wisata Toleransi yang diselenggarakan oleh komunitas Koko Jali, Sabtu pekan lalu (23/2/2019), detikTravel pun diajak untuk menyelami kehidupan umat beragama di sana.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Acara pun dimulai dari pagi hari, dengan titik kumpul di Paroki Santo Servatius Kampung Sawah. Bersama dengan rekan media dan wisatawan umum, ada sekitar belasan peserta dari berbagai latar belakang yang hadir.

Dipandu oleh Max Andrew Ohandi atau yang akrab disapa Max, founder dari komunitas Koko Jali ini mengajak para peserta untuk berkeliling dan menyelami masyarakat Kampung Sawah yang multietnis dan agama dari dekat.

"Acara hari ini tujuannya simpel. Saya mau wisata rumah ibadah dan dialog bukan hanya dilakukan tokoh agama atau aktivis agama, tapi orang biasa juga. Bisa dibilang kalau Kampung Sawah toleransinya tinggi," ujar Max.

Pesan Damai dari Bekasi untuk Indonesia
Romo Yohanes dan pak Nalih dari Gereja Santo Servatius (Randy/detikTravel)
Di awal acara, Max pun mengajak kami untuk bertemu dengan Romo Yohanes Wartaya SJ selaku Romo di Gereja Servatius. Dijelaskan olehnya, kalau masyarakat Kampung Sawah hidup dan rukun dalam perbedaan.

"Ini kampung kebhinekaan. Berbagai agama dan suku bisa hidup bersama dalam kebhinekaan," ujar Romo Yohanes.

Kebhinekaan itu pun tampak lewat ornamen Gereja Santo Servatius yang sarat akan nuansa dan simbol Betawi. Diungkapkan oleh Matheus Nalih Ungin selaku Majelis Paroki Servatius Kampung Sawah, pengaruh budaya Betawi itu telah hadir sejak ratusan tahun silam.

"Kami lebih banyak menekankan pada nuansa Betawi. Dulu 22 juni 1896 ada 1 umat Kampung Sawah yang dibaptis jadi Katolik. Dari situ dibaptis 18 asli Kampung Sawah," ujar Nalih.

Dari situ, terjadi akulturasi antara budaya Betawi dan Gereja Santo Servatius. Setiap minggu pertama dalam satu bulan misalnya, ada misa dengan nuansa dan lagu Betawi.

Ditambahkan oleh Nalih, akulturasi itu pun bisa terjadi lewat komunikasi yang baik. Bagaimana masyarakat Kampung Sawah yang dahulu orang Betawi, bisa berakulturasi dengan agama Katolik serta menjalin relasi baik dengan pemeluk agama lain.

"Menghidupinya dengan konsep ngeriung bareng. Ngomongin kearifan lokal Kampung Sawah. Agama urusan individu, tapi masyarakat Kampung Sawah urusan kita bersama," ujar Nalih.

Pesan Damai dari Bekasi untuk IndonesiaPara pengurus GKP Kampung Sawah (Randy/detikTravel)
Dari Paroki Servatius, kami pun berjalan ke Gereja Kristen Pasundan (GKP) Kampung Sawah yang berlokasi tak jauh. Di sana, kami disambut oleh Hiskia Ekatana Dani selaku Majelis Pengurus Harian.

Senada dengan Nalih, Dani juga mengungkapkan pentingnya komunikasi antara tokoh masyarakat dan agama Kampung Sawah sebagai kunci toleransi.

"Kekerabatan kekeluargaan di Kampung Sawah, kita itu keluarga. Pas zaman Gedoran (peristiwa penyerbuan di tahun 1945-red) yang datang dari luar. Mereka bisa pulih karena ada dialog," ujar Dani.

Dalam prosesnya, GKP Kampung Sawah juga memiliki akulturasi dengan budaya Betawi, Sunda dan lainnya yang tertuang dalam kebaktian mereka. Pada momen tertentu, kebaktian dilakukan dengan bahasa Sunda hingga keroncong yang khas Betawi.

Pesan Damai dari Bekasi untuk IndonesiaMasjid Al Jauhar Yasfi (Randy/detikTravel)
Kemudian, perjalanan pun kembali dilanjutkan ke Masjid Al Jauhar Yasfi yang berlokasi persis di sisi kanan GKP Kampung Sawah. Di sana, kami disambut oleh Ustaz Nur Ali Akbar selaku Ta'mir masjid.

Menurut Ustaz Ali, kawasan Kampung Sawah ini disebut juga sebagai segitiga emas. Alasannya, ada tiga rumah ibadah beda agama yang saling berbagi satu sama lain.

"Ini kawasan segitiga emas, ada masjid, Gereja Servatius sama GKP. Kita bisa mendengar lantunan pujian-pujian. Subuh-subuh nyeberang, ketemu saudara yang mau ke masjid," ujar Ustaz Ali.

Pesan Damai dari Bekasi untuk IndonesiaUstaz Ali sekaligus Ta'mir masjid (Randy/detikTravel)
Bagi Ustaz Ali, perbedaan itu pun telah dikenal sejak kecil. Tanpa diajari, toleransi itu tercipta dengan sendirinya. Berbeda adalah hal yang biasa.

"Kampung Sawah ini sudah dibentuk dari dulu sejak saya lahir. Terbentuk guyubnya di sini. Ada saudaranya pak Kyai yang jadi pengurus gereja. Nggak ada yang harus dipertentangkan dalam perbedaan agama. Di sini juga multi etnis," ujar Ustaz Ali.

Setelah mampir ke tiga rumah ibadah, perjalanan pun ditutup dengan kunjungan sosial ke Yayasan Kampus Diakonia Modern atau KDM. Di sana, kami bermain dengan anak-anak yatim piatu yang datang dari berbagai latar belakang dan agama.

Indonesia lebih indah, ketika kita tidak diadu karena perbedaan agama. Karena sejatinya perbedaan bukanlah hal yang perlu ditakuti. Perbedaan adalah keunikan yang perlu dirawat bersama lewat komunikasi dan saling pengertian. (sna/fay)

Hide Ads