Bicara toleransi beragama di Bekasi, jangan lupa dengan nama Kampung Sawah. Di sana ada 'segitiga emas' dalam bentuk gereja dan masjid yang saling berdampingan.
Jauh sebelum ramai isu SARA, masyarakat Kampung Sawah di Jatisampurna, Bekasi, telah hidup rukun dan guyub sejak dulu. Lewat acara Wisata Toleransi yang diselenggarakan oleh komunitas Koko Jali, Sabtu pekan lalu (23/2/2019), detikTravel pun diajak untuk menyelami kehidupan umat beragama di sana.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dipandu oleh Max Andrew Ohandi atau yang akrab disapa Max, founder dari komunitas Koko Jali ini mengajak para peserta untuk berkeliling dan menyelami masyarakat Kampung Sawah yang multietnis dan agama dari dekat.
"Acara hari ini tujuannya simpel. Saya mau wisata rumah ibadah dan dialog bukan hanya dilakukan tokoh agama atau aktivis agama, tapi orang biasa juga. Bisa dibilang kalau Kampung Sawah toleransinya tinggi," ujar Max.
![]() Romo Yohanes dan pak Nalih dari Gereja Santo Servatius (Randy/detikTravel) |
"Ini kampung kebhinekaan. Berbagai agama dan suku bisa hidup bersama dalam kebhinekaan," ujar Romo Yohanes.
Kebhinekaan itu pun tampak lewat ornamen Gereja Santo Servatius yang sarat akan nuansa dan simbol Betawi. Diungkapkan oleh Matheus Nalih Ungin selaku Majelis Paroki Servatius Kampung Sawah, pengaruh budaya Betawi itu telah hadir sejak ratusan tahun silam.
"Kami lebih banyak menekankan pada nuansa Betawi. Dulu 22 juni 1896 ada 1 umat Kampung Sawah yang dibaptis jadi Katolik. Dari situ dibaptis 18 asli Kampung Sawah," ujar Nalih.
Dari situ, terjadi akulturasi antara budaya Betawi dan Gereja Santo Servatius. Setiap minggu pertama dalam satu bulan misalnya, ada misa dengan nuansa dan lagu Betawi.
Ditambahkan oleh Nalih, akulturasi itu pun bisa terjadi lewat komunikasi yang baik. Bagaimana masyarakat Kampung Sawah yang dahulu orang Betawi, bisa berakulturasi dengan agama Katolik serta menjalin relasi baik dengan pemeluk agama lain.
"Menghidupinya dengan konsep ngeriung bareng. Ngomongin kearifan lokal Kampung Sawah. Agama urusan individu, tapi masyarakat Kampung Sawah urusan kita bersama," ujar Nalih.
![]() |
Senada dengan Nalih, Dani juga mengungkapkan pentingnya komunikasi antara tokoh masyarakat dan agama Kampung Sawah sebagai kunci toleransi.
"Kekerabatan kekeluargaan di Kampung Sawah, kita itu keluarga. Pas zaman Gedoran (peristiwa penyerbuan di tahun 1945-red) yang datang dari luar. Mereka bisa pulih karena ada dialog," ujar Dani.
Dalam prosesnya, GKP Kampung Sawah juga memiliki akulturasi dengan budaya Betawi, Sunda dan lainnya yang tertuang dalam kebaktian mereka. Pada momen tertentu, kebaktian dilakukan dengan bahasa Sunda hingga keroncong yang khas Betawi.
![]() |
Menurut Ustaz Ali, kawasan Kampung Sawah ini disebut juga sebagai segitiga emas. Alasannya, ada tiga rumah ibadah beda agama yang saling berbagi satu sama lain.
"Ini kawasan segitiga emas, ada masjid, Gereja Servatius sama GKP. Kita bisa mendengar lantunan pujian-pujian. Subuh-subuh nyeberang, ketemu saudara yang mau ke masjid," ujar Ustaz Ali.
![]() |
"Kampung Sawah ini sudah dibentuk dari dulu sejak saya lahir. Terbentuk guyubnya di sini. Ada saudaranya pak Kyai yang jadi pengurus gereja. Nggak ada yang harus dipertentangkan dalam perbedaan agama. Di sini juga multi etnis," ujar Ustaz Ali.
Setelah mampir ke tiga rumah ibadah, perjalanan pun ditutup dengan kunjungan sosial ke Yayasan Kampus Diakonia Modern atau KDM. Di sana, kami bermain dengan anak-anak yatim piatu yang datang dari berbagai latar belakang dan agama.
Indonesia lebih indah, ketika kita tidak diadu karena perbedaan agama. Karena sejatinya perbedaan bukanlah hal yang perlu ditakuti. Perbedaan adalah keunikan yang perlu dirawat bersama lewat komunikasi dan saling pengertian. (sna/fay)
Komentar Terbanyak
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol
Tragedi Juliana di Rinjani, Pakar Brasil Soroti Lambatnya Proses Penyelamatan