Tantangan Mengenalkan Batik Tulis Lasem di Dalam Negeri

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Tantangan Mengenalkan Batik Tulis Lasem di Dalam Negeri

Johanes Randy Prakoso - detikTravel
Rabu, 02 Okt 2019 20:10 WIB
Pengrajin batik tulis Lasem (@awesomelasem/Instagram)
Rembang - Batik tulis Lasem menjadi salah satu kekayaan budaya tanah air. Hanya walau begitu, mempopulerkannya pun bukan perkara mudah.

Setiap masyarakat Indonesia mungkin mengetahui batik tulis sebagai kekayaan budaya Indonesia. Namun, tak sedikit yang belum memahami esensi batik tulis serta kesulitan di balik proses pembuatannya. Di mana apresiasi yang masih minim juga membuat batik jadi kurang berkembang.

Untuk itu, detikTravel mengajak para pembaca untuk mengenal salah satu batik tulis khas Lasem yang berasal dari Jawa Tengah. Dikisahkan oleh Fransiska Anggraini, pegiat serta pecinta batik tulis Lasem sekaligus pendiri @awesomelasem saat diwawancarai oleh detikcom, Rabu (2/10/2019).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kepada detikcom, Fransiska atau yang akrab disapa Chika mengungkan kesedihannya akan eksistensi batik tulis Lasem yang disebutnya masih sulit berkompetisi dengan produk serupa asal negeri China yang lebih murah.

"Sekarang aku sedih karena printing China itu ada di mana-mana ya, dan itu menghantam industri batik tulis ini. Sementara Lasem itu hanya memproduksi batik tulis karena industri rumahan, produksinya terbatas. Jadi kalau mereka dihantam mereka gak bisa melawan," ungkap Chika.

Batik tulis Lasem (@awesomelasem/Instagram)Batik tulis Lasem (@awesomelasem/Instagram)
Lewat @awesomelasem, Chika memang merangkul sejumlah pengrajin asal Lasem untuk menjual hasil karya mereka dengan harga yang kompetitif dan fair sesuai effort yang mereka berikan.

"Motifnya terlalu rumit, even cap gak ada yang sanggup membikin motifnya dia karena rapeat-rapat kan desainnya. Pekalongan udah hampir 80% cap dan mereka lebih dulu terkenal, jadi untuk memenuhi demand yang mau gak mau harus cepet industrinya dan Lasem gak bisa," ujar Chika.

Kini, Chika pun berusaha untuk membuat publik mengapresiasi batik tulis Lasem sesuai dengan harganya yang mencapai jumlah ratusan ribu hingga jutaan. Nyatanya, usaha Chika berhasil berbuah manis.

"Aku jual batik 2-3 juta rupiah tiap hari laku lho. Aku kayak punya stok batik seharga 3 juta dan itu laku dalam sehari. Jadi ketika mereka terima barang, sekarang mereka ngerti kenapa harganya segini. Orangorang itu juga yang bilang. Bukan karena mengada-ada, harga pengrajin batik aku gak pernah tawar," ujar Chika.


Lebih lanjut, Chika pun tak memaksa para pengrajinnya untuk memproduksi batik tulis dalam jumlah banyak (mass product). Ia hanya mencoba mendistribusikan batik tulis Lasem sesuai harganya untuk meningkatkan kesejahteraan para pengrajin serta keberlangsungannya.

"Aku juga gak akan menge-push mereka, karena aku memperkenalkan ini sebagai artwear bukan sebagai mass product. Orang kayak lihat harga batik mulai dari 50 ribu, orang bukannya mereka gak punya uang. Kayak masyarakat urban kelas menengah mereka bisa kayak ke Starbuck tiap hari beli boba antre boba buy 1 get 1. Bukan karena mereka gak mau beli, tapi untuk mengapresiasi uang 500 ribu itu mereka harus aku bikin appreciate dulu produknya" ujar Chika.

Diakui Chika, para penjual batik kerap mengandalkan para turis untuk menjual produknya. Padahal, Lasem belum menjadi destinasi populer turis karena sangat segmented.

"Karena kebanyakan mereka ngarepin turis, karena pariwisatanya belum maju lah. bukan kayak Yogya yang hampir tiap weekend ada orang ke sana. Masih underrated dan kayaknya minat khusus. Karena dia kota tua kayak Luang Prabang, kota-kota kuno gitu. Biasanya mereka penyuka arsitektur atau batik," ungkap Chika.

Itulah sedikit cerita tentang batik tulis Lasem dari mata pelaku usahanya. Semoga di Hari Batik Nasional ini, masyarakat Indonesia dapat lebih menghargai batik sebagaimana mestinya.





(rdy/krs)

Hide Ads