Subuh tadi, Jumat (19/10/2012), saya menggigil di pinggir Danau Batur. Selapis jaket tak bisa mengalahkan hembusan angin dingin yang menusuk kulit. Menengok ke arah makam keramat Trunyan di salah satu sisi danau, membuat bulu kuduk berdiri. Mana, mana matahari yang katanya muncul pukul 5 pagi?
Tiba-tiba saja, voila! Alam langsung mengabulkan keinginan saya. Sinar matahari mulai merangsek dari balik bukit. Semburat oranye mulai menggantikan langit biru tua. Bulan sabit yang bertengger di sana semalaman pun mulai tersingkir.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Burung-burung bangau terbang rendah di permukaan Danau Batur. Sesekali menyambar mangsa untuk sarapan, atau sekadar "mejeng" saja di pinggiran. Tiba-tiba, nelayan berperahu lewat dekat mereka. Seperti merasa terusik, bangau-bangau itu pun menyingkir dan terbang ke tempat lain.
Sebaliknya, para nelayan ini tampak asyik saja mendayung. Perahu yang mereka naiki disebut 'jukung'. Bentuknya lonjong dengan sudut lancip di bagian depan dan belakang. Yang menarik, para nelayan ini bukannya duduk, tapi jongkok!
Mereka mendayung ke segala arah, melempar jaring untuk menangkap ikan dan membawa hasil tangkapannya ke tambak. Matahari sudah bulat sempurna saat saya melihat mereka menangkap ikan.
Bagai magis, sosok Gunung Batur pun langsung terlihat jelas. Baru-baru ini, kawasan Kaldera Gunung Batur masuk dalam Global Geopark Network (GGN) UNESCO. Dari kejauhan, kaldera ini tampak cukup jelas. Bagian atas gunung ini berbentuk kawah raksasa. Seperti tak ada puncaknya.
Pagi ini, saya puas menikmati matahari terbit dari pesisir Danau Batur. Sinarnya tak hanya membangunkan alam semesta, tapi juga menghangatkan sanubari.
(ptr/fay)












































Komentar Terbanyak
Bupati Aceh Selatan Umrah Saat Darurat Bencana-Tanpa Izin Gubernur & Mendagri
Alih Fungsi Lahan Jadi Kebun di Hutan Gunung Sanggabuana Bisa Berpotensi Buruk
Bus Rosalia Indah Viral Ugal-ugalan di Tol, Sopir Resmi Kena PHK