Desa atau distrik Ugimba masuk dalam Kabupaten Intan Jaya. Desa ini berada di ketinggian 2.100 mdpl, yang menjadi desa terdekat dari Puncak Carstensz yang berjarak sekitar 40-an km lagi dari sini. Lokasinya benar-benar ada di pedalaman hutan Papua!
Di Ugimba, masyarakatnya masih hidup di honai. Rumah adat yang terbuat dari kayu dan jerami tanpa paku atau batu bata. Pekerjaan mereka sehari-hari, yang wanita pergi ke kebun untuk menanam kol, bayam merah dan kedelai. Sementara yang pria, masuk ke hutan untuk berburu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yang jadi pengalaman berharga, kami merasakan langsung hidup tanpa listrik dan sinyal telepon selular di pedalaman Papua ini. Ya, tidak ada tiang-tiang listrik, lampu jalanan bahkan rumah-rumah di sana juga tidak ada lampu.
Begitu matahari mulai tenggelam, masyarakatnya sudah kembali ke rumah. Mereka menyiapkan api unggun di dalam honai, sebagai penerang sekaligus penghangat badan di malam hari.
Begitu bulan menggantikan matahari, suasana di Ugimba sudah gelap gulita. Masyarakatnya tidak akan keluar rumah untuk berjalan-jalan. Mereka sudah masuk ke honai, untuk bersiap tidur.
Namun bagi beberapa pria, mereka justru bergegas untuk kembali menembus hutan. Bermodalkan senter atau head lamp yang dibeli di Desa Sugapa, desa terdekat yang jaraknya sekitar 20-an km, mereka akan berburu kuskus untuk disantap.
Bagaimana soal sinyal telepon selular, setali tiga uang. Ponsel kami tidak mendapatkan sinyal, sehingga tidak bisa mengabarkan keluarga atau kerabat terdekat.
Tim jurnalis pun menghabiskan malam hari dengan saling berbincang atau memasak makanan. Dari mie sampai kopi, semua kami lahap demi menghangatkan tubuh.
Begini rasanya tinggal di pedalaman Papua tanpa listrik dan telepon selular. Kami berasa benar-benar jauh dari rumah. Kami juga berasa diajarkan, untuk bisa mensyukuri apa yang sudah kami punya.
Bagi saya, ini jadi momen tentang betapa berharganya berkumpul dengan keluarga. Di kala hidup di Jakarta semua dimudahkan dengan gadget dan lainnya, tapi tetap saja rasanya pasti istimewa ketika berkumpul dengan mereka. Delen, pendaki yang masih remaja dari Palasma (Pecinta Alam SMA Negeri 1 Mataram) yang berasal dari Lombok pun mengutarakan hal yang sama.
"Kangen mama bang. Tidak ada telepon tidak ada internet jadi berasa enaknya kumpul sama keluarga," keluhnya.
Kami biasanya mulai tidur sekiar pukul 21.00 WIT dan bangun pada pukul 08.00 WIT. Di satu sisi, toh ternyata hidup pola kami jadi teratur. Tidak ada begadang sampai larut malam untuk menonton TV atau main gadget.
Saking terputusnya kami dengan dunia luar, kami tidak tahu ada kejadian kecelakaan pesawat Trigana. Kabar itu baru sampai ketika tim kedua yang terdiri dari para instruktur pendakian tiba di Ugimba.
(rdy/Aditya Fajar Indrawan)
Komentar Terbanyak
Penumpang Hilang HP di Penerbangan Melbourne, Ini Hasil Investigasi Garuda
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol