Glamor dan gemerlap adalah gambaran Jakarta sebagai ibukota negara. Tapi bagi turis mancanegara, bukan itu yang dicari. Mereka justru suka mendatangi perkampungan kumuh, melihat orang-orang yang kurang beruntung hidupnya.
Sebelumnya, saya sudah menceritakan pengalaman mengikuti Jakarta Hidden Tour. Suatu tur yang unik, karena mengajak turis melihat sisi lain Jakarta. Bukan ke hotel mewah atau ke mal megah, namun ke perkampungan-perkampungan kumuh yang menjadi tempat tinggal dan sebenarnya tidak layak dihuni.
Parlin Tampubolon, salah seorang pemandu Jakarta Hidden Tour, pekan lalu menemani saya dan seorang turis Asutralia, Andrew ke kawasan utara Jakarta. Tepatnya ke daerah Jl Tongkol dan Pasar Ikan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sekarang, saya bukan bicara soal turnya tetapi lebih ke siapa penikmatnya dan apa tujuan dari turnya. Parlin dengan senang hati menjawab berbagai pertanyaan yang saya lontarkan dan bikin dahi ini mengerenyit.
"Kini, permintaan tur ini sangat banyak. Dulu (tahun 2009) paling hanya satu kali seminggu, sekarang dua tahun terakhir ini malah setiap hari. Tahun depan saja sudah full booking," ujarnya.
Mereka yang ikut Jakarta Hidden Tour ternyata hampir 90 persen adalah turis mancanegara. Mereka pun berasal dari berbagai negara seperti Perancis, Belanda, Inggris, Italia, Jepang, Korea, Australia, AS, Kanada sampai Meksiko. Dari anak kecil, anak muda sampai manula!
Parlin kemudian bercerita, betapa senangnya para turis yang ikut Jakarta Hidden Tour. Pernah suatu waktu ada turis Inggris yang ikut Jakarta Hidden Tour dan jauh-jauh terbang ke Indonesia hanya untuk ikut turnya saja.
"Rombongan turis itu datang cuma mau ikut Jakarta Hidden Tour. Nggak ke Bali, ke Lombok, mereka langsung pulang lagi," katanya sambil geleng-geleng kepala.
Pernah juga suatu waktu, Jakarta Hidden Tour kebanjiran turis. Tidak main-main, 40 mahasiswa dari Norwegia datang ke Jakarta dan mereka semua tidak mau tidak ikut.
"Waduh, itu kita pusing sekali. Kita aja maksimal 5-10 orang yang ikut tur, tapi ini 40. Maka kami putar otak, kita pecah-pecah jadi grup," ujar Parlin sambil sesekali tertawa mengingatnya.
Yang bikin geleng-geleng kepala, adalah tarif untuk mengikuti Jakarta Hidden Tour. Asal tahu saja, untuk ikut tur ini, turis dikenai kocek USD 50 atau setara Rp 667 ribu. Nggak kemahalan ya?
"Dulu, biaya yang kita patok seikhlasnya. Kemudian kita naikan USD 15, tapi malah ditentang oleh turis. Mereka bilang itu terlalu sedikit dan malah harus lebih lagi," kata Parlin sambil tersenyum.
Asal tahu saja, ternyata biaya tersebut disumbangkan 50 persen untuk masyarakat yang dikunjungi oleh Jakarta Hidden Tour. Mereka memberinya untuk edukasi, kesehatan dan kebutuhan. Tak ayal, banyak turis yang minta tarifnya dinaikan agar sumbangan yang diberikan makin besar nilainya. Tapi untuk wisatawan lokal, Parlin menegaskan biayanya masih seikhlasnya saja karena tak mau memberatkan.
Kemudian, sekitar tahun 2011-2012, jadi tahun yang paling mencekam untuk Jakarta Hidden Tour. Ketika itu, Menteri Budaya dan Pariwisata yang dijabat oleh Jero Wacik mengecam Jakarta Hidden Tour!
"Kami dibilang sebagai tur yang menjelek-jelekan Jakarta dan Indonesia. Mereka bilang ngapain sih bawa tur ke tempat-tempat kayak begitu. Kegiatan kami katanya harus dihentikan," kenang Parlin.
Parlin bersama Ronny Poluan, sang pendiri Jakarta Hidden Tour lalu melakukan survei, apakah Jakarta Hidden Tour harus berhenti. Bukan cuma orang Jakarta yang menjawab, turis mancanegara pun malah siap pasang badan.
"95 Persen koresponden kami menjawab Jakarta Hidden Tour tetap berjalan. Bahkan, berita itu sampai ke mancanegara yang kemudian kami dikontak oleh turis-turis yang pernah kami bawa. Mereka siap mendukung kami," ungkapnya.
Jakarta Hidden Tour sebenarnya bukan untuk melihat sisi lain Jakarta yang menderita. Jauh dari itu, tur ini mengajak turis untuk bisa belajar mengenai kehidupan. Belajar dari orang-orang yang kurang mampu untuk bertahan dan menjalani hidup. Bagi saya sendiri, lebih bagaimana kita bersyukur dengan apa yang kita miliki.
Terakhir, saya memuji Jakarta Hidden Tour yang jujur. Jujur untuk membeberkan fakta kalau kemiskinan di Jakarta belum tentu selamanya salah pemerintah. Jujur untuk memberikan informasi, bahwa pemerintah Jakarta sudah melakukan segala cara untuk mengurangi perkampungan kumuh namun tetap saja ada orang-orang yang sulit diatur. Atau, orang-orang yang nekat datang ke ibukota dan terpaksa harus merana.
"Kita memang mengenalkan sisi lain Jakarta yang seperti ini, yang sebenarnya. Bagaimana permasalahan warganya, pemerintahnya dan gaya hidupnya. Turis pun langsung bisa berinteraksi langsung dan terjadilah pertukaran budaya antar negara. Kita tahu bagaimana kehidupan di negara mereka, dan mereka tahu apa yang ada di sini, Jakarta," tutupnya.
(aff/aff)
Komentar Terbanyak
Ada Gerbong Khusus Merokok di Kereta, Kamu Setuju?
Bisa-bisanya Anggota DPR Usulkan Gerbong Rokok di Kereta
Turis China Serang Petugas Imigrasi, Jilbab Ditarik Sampai Lepas