Dengan tinggi 8.848 mdpl, Puncak Everest di Nepal menyandang gelar sebagai puncak tertinggi di dunia dan tentu masuk dalam daftar Seven Summit (7 puncak tertinggi di 7 benua). Puncak yang berada di rangakaian Pegunungan Himalaya ini adalah mimpi bagi semua pendaki.
Namun di balik mimpi untuk mencapai puncaknya, para pendaki akan melewati berbagai rintangan yang tidak mudah. Rintangan yang bahkan bisa mencabut nyawa dan menjadikan pendakian di sana berakhir dengan mimpi buruk.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Puncak Everest di bagian paling tengah (Reuters)
Dilansir dari CNN Travel, Selasa (24/5/2016) sejak kamis (19/5) sampai Senin (23/5) setidaknya sudah 4 pendaki termasuk salah satunya sherpa (porter di Everest) meninggal dunia. 2 Pendaki masih dinyatakan hilang dan dilakukan terus pencarian.
Sebenarnya bukan rahasia lagi, kalau Puncak Everest dijuluki tempat paling mematikan di Bumi. Terdapat jalur pendakian yang bernama Death Zone di ketinggian 8.000 mdpl, yang terhampar jenazah-jenazah para pendaki. Cukup mahal biaya untuk menurunkan jenazahnya dan cerita selengkapnya bisa Anda baca di sini.
Ada Bahaya Apa di Everest?
Dalam film 'Everest', yang menceritakan kisah nyata ekspedisi pendakian Rob Hall dan Adventure Consultants di tahun 1996, terpampang jelas bagaimana pendakian ke Puncak Everest yang berbahaya. Lihat pula, adegan-adegan saat satu per satu pendaki dalam rombongannya meninggal dunia. Ada yang terkena badai salju, kedinginan sampai hilang akal dan melepas alat pendakian kemudian terjatuh.
Jonathan James Kedrowski, salah seorang pendaki yang menjadi pemandu dan sudah berhasil mencapai Puncak Everest berbagi cerita. Sebelumnya dia menekankan, bahwa Everest adalah tempat paling ekstrem di dunia dan paling tidak ramah untuk semua mahluk hidup.
Pendakian ke Puncak Everest yang butuh persiapan dan fisik maksimal! (AFP)
"Mountain sickness dan high-altitude cough (batuk yang munculnya karena paparan udara dingin di gunung atau tempat ketinggian-red). Itu beberapa yang akan kita alami saat mendaki Everest," ujarnya.
Dua hal tersebut sudah cukup untuk mencabut nyawa para pendaki. Mountain sickness adalah ketidakmampuan tubuh untuk beradaptasi dengan kondisi alam di pegunungan yang berbeda dibandingkan dataran rendah. Di daerah pegunungan, tekanan udara dan kadar oksigen lebih rendah dibanding dengan dataran rendah sehingga tubuh akan mudah kekurangan oksigen. Apalagi ini di Everest!
Dalam kondisi tersebut, bahayanya adalah pembuluh darah bisa menggumbung. Penggembungan pembuluh darah itu menyebabkan terjadinya kebocoran cairann di dalam tubuh. Gejala awalnya adalah pusing, muntah-muntah, hilang nafsu makan, halusinasi dan paling parah mengalami koma.
Celakanya, lebih dari lima puluh persen yang sampai mengalami koma, akhirnya tewas. Sementara yang berhasil bertahan, kebanyakan mengalami cedera otak permanen yang menyebabkan kondisi mental tidak normal.
Everest yang tak ramah untuk semua mahluk hidup (Reuters)
Lalu high-altitude cough, juga sama bahayanya. Tahukah Anda di tahun 1971, 4 pendaki dari International Himalayan Expedition meninggal dunia akibat penyakit ini. Mereka meninggal akibat patah tulang rusuk karena batuk.
Ya, batuk saat mendaki gunung pun berbeda dengan batuk di dataran rendah. Dr Luanne Freer, pendiri Everest ER atau juga dikenal Base Camp Medical Clinic di Everest Base Camp yang merupakan klinik darurat dari tenda untuk para pendaki, selalu mengingatkan tentang penyakit ini.
"Ini mungkin tidak terdengar bahaya, hanya batuk. Tapi saat batuk di tingkat udara yang dingin di daratan tinggi, itu dapat mengeringkan selaput paru-paru dan menyebabkan retak. Tulang di sekitar dada bisa patah!" paparnya.
Dr Luanne Freer yang sudah merawat ratusan lebih para pendaki di Everest Base Camp (Everest ER/CNN Travel)
Selain dua hal tersebut, masih banyak bahaya yang mengintai di Everest. Ada hipoksia yakni kondisi kurangnya pasokan oksigen bagi tubuh untuk menjalankan fungsi normalnya. Bisa mengakibatkan otak, hati, dan organ lainnya bisa rusak dengan cepat ketika tidak mendapat oksigen yang cukup. Kemudian ada lagi, High-altitude pulmonary edema (HAPE) yaitu bocornya saluran darah di paru-paru.
Kembali ke Kedrowski, dia menjelaskan tentang bahayanya es-es di sana. Bukan karena licin atau pecah saat diinjak, tetapi es-es di Everest merupakan reflektor terbaik alias dapat memantulkan cahaya matahari!
"Salju dan es dapat memantulkan cahaya matahari yang sangat menyilaukan. Suhu di sana saat siang hari pun bisa mencapai 32 derajat Celcius," katanya.
Suhu yang cukup panas dan membuat kulit terbakar, ditambah tak ada pohon-pohon besar untuk berlindung. Belum lagi beberapa trek seperti Khumbu Icefall, yang melewati tangga melintasi jurang es harus membutuhkan konsentrasi tinggi.
Di Everest, cuaca pun cukup panas dan membakar kulit (Reuters)
Bagaimana Cara Bertahan Hidup di Everest?
Jika Everest begitu berbahaya dan mematikan, lalu mengapa para pendaki masih bermimpi untuk mendaki ke puncaknya? Kedrowski menjelaskan, untuk meminimalisir kecelakaan dan bertahan hidup selama pendakian Everest, para pendaki harus mengikuti instruksi pemandu dan mempersiapkan fisik semaksimal mungkin.
"Jangan naik lebih dari 1.000 kaki per hari untuk menjaga kondisi tubuh," ujarnya.
Hal itu bertujuan agar tubuh tidak mudah lelah dan dapat menyesuaikan diri dengan ketinggian. Pelan-pelan tubuh menyesuaikan diri dengan ketinggian, pelan-pelan merasakan suhu yang lebih dingin dan oksigen yang lebih tipis. Ini juga merupakan salah satu cara untuk menghindari mountain sickness.
Cuaca dingin dan oksigen tipis selama pendakian Everest (Reuters)
Namun jauh sebelum itu, para pendaki dilarang untuk langsung berjalan setibanya di Base Camp yang berada di ketinggian 5.361 mdpl. Setidaknya paling sebentar adalah 10 minggu, agar tubuh mulai terbiasa dengan ketinggiannya dan dapat membuat tubuh pelan-pelan berkerja untuk meningkatkan daya tahannya.
"Paling sebentar 10 minggu, kurang dari itu lebih baik tidak usah mendaki sama sekali," tegas Kedrowski.
Terakhir, makanan juga harus diperhatikan. Makanan memainkan peran utama bagaimana tubuh bereaksi terhadap alam saat mendaki Everest. Tahukah Anda, pencernaan akan melambat saat pendaki mencapai titik yang lebih tinggi. Usus tidak dapat bekerja dengan baik dan tidak dapat mengirim nutrisi ke otot-otot.
Di ketinggian-ketinggian tertentu, tubuh juga mulai sulit mencerna protein. Kedrowski menyarankan untuk mengkonsumsi makanan-makanan seperti mie polos, sayuran kaleng dan daging, kacang, sup dan daging. Beberapa snack seperti trail mix, cokelat, kue dan crackers juga dianjurkan yang bisa mengisi perut saat sedang pendakian.
Jangan terus bergantung pada salju untuk mendapatkan air. Kebanyakan salju di Everest sudah mulai tercemar sampah dan mengandung bakteri. Lebih baik masak sampai benar daripada terkena diare.
Pemandangan dari Puncak Everest (Sandra LeDuc/CNN Travel)
Selama pendakian naik dan turun di sana, para pendaki harus mementingkan nyawa. Naiklah dan turun dari Everest, untuk hidup kembali.
(aff/aff)
Komentar Terbanyak
Bandung Juara Kota Macet di Indonesia, MTI: Angkot Buruk, Perumahan Amburadul
Prabowo Mau Beli 50 Pesawat Boeing dari Trump: Kita Perlu Membesarkan Garuda
Bandara Kertajati Siap Jadi Aerospace Park, Ekosistem Industri Penerbangan