Perkembangan teknologi internet tidak dapat dipungkiri telah mengubah banyak hal, tidak terkecuali bidang industri hospitality dan pariwisata dalam negeri. Dari yang dahulu konvensional via telepon menjadi serba online. Tantangan baru pun bermunculan bagi para pelaku industri terkait, di mana harus segera disikapi demi kelangsungan usaha.
Sejumlah tantangan itu pun dibahas dalam launching The Hotel Week Indonesia di ruangan Candi Mendut, Hotel Sahid, Jakarta, Senin (13/11/2017). Sejumlah tokoh terkait pun hadir dan buka suara, antara lain Ketua Perhimpunan Hotel & Restoran Indonesia Hariyadi Sukamdani, Ketua Asosiasi Penyelenggaraan Jasa Internet Indonesia Jamalul Izza, Kepala Jakarta Hotel Association Alexander Nayoan dan Ketua CNG Media & Event sekaligus penyelenggara acara, Henry.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Prospek hotel di Indonesia menurut kami sangat baik. Saat ini kita masih dalam posisi over, butuh langkah dari pemerintah Indonesia untuk mengontrolnya. Untuk kota-kota tertentu harus dikendalikan. Ada waktu- waktu tertentu yang harus di stop dulu izinnya. Bali, Bandung sudah jenuh. Makassar juga harus mulai lampu kuning. Pemerintah juga harus mulai memikirkan agar persaingan sehat," ujar Hariyadi.
Dijabarkan oleh Hariyadi, saat ini pertumbuhan hotel di Indonesia begitu pesat. Tercatat ada 290 ribu kamar dari 230 hotel hotel berbintang di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik, Non bintang jumlahnya mencapai 285 ribu kamar lebih. Jumlah kamar di Indonesia boleh dibilang merupakan yang terbesar di kawasan Asia Tenggara.
Selain jumlah hotel yang kian signifikan, Hariyadi juga menjelaskan tentang Digital Disruption (gangguan di bidang digital) hingga masuknya Online Travel Agency (OTA) asing yang kian menjamur. Mulai dari banyaknya jumlah akomodasi share cost di Airbnb hingga OTA asing yang menuntut harga mahal dan tidak bayar pajak ke pihak hotel.
"Kedua yang ingin kami sampaikan Digital Disruption, salah satu hal yang jadi tantangan kita. Sampai saat ini kita belum bisa hitung Airbnb, berapa banyak nyedot ke konvensional. Hal lain yang juga kami hadapi itu OTA. Di satu sisi sangat membantu kita, hampir semua hotel dijual OTA. Yang jadi masalah kalau OTA asing, problemnya menyangkut pajaknya," ujar Hariyadi.
Dijabarkan lebih jauh oleh Hariyadi, para OTA asing bisa meminta komisi antara 15-30%. Hal itu pun kebalikan dengan OTA lokal yang hanya meminta komisi sekitar 2%. Kondisi pun kian diperparah dengan para OTA asing yang tidak bayar pajak, di mana pajaknya harus ditanggung oleh pihak hotel sesuai instruksi Pph 26 dari Dirjen Pajak. Di Bali misalnya ada sekitar 50% OTA asing.
Tidak sampai situ, kurangnya SDM profesional di bidang industri perhotelan juga menjadi masalah. Tak sedikit dari para SDM di bidang hospitality yang hanya merupakan lulusan strata D3 atau D4. Belum lagi sertifikasi yang harus dimiliki untuk mengisi posisi-posisi tertentu.
"Di sektor pariwisata sampai saat ini bagus penyerapan tenaga kerjanya. Yang probem masalahnya mencari tenaga ahli yang terbaik. Pertumbuhan cepat, yang belum siap diambil. Tidak diimbangi kesiapan SDM. Ini jadi perhatian bagi kami PHRI," ujar Hariyadi.
Ditambahkan juga oleh Kepala Jakarta Hotel Association, Alexander Nayoan, bahwa kualitas SDM juga berkontribusi pada rate hotel hingga jumlah pengeluaran tamu hotel. Makin baik SDM-nya, akan makin meningkat pula prestise hotelnya. Tamu pun akan rela keluar uang lebih banyak. Kualitas dan sertifikasi SDM pun jadi hal penting. Hotel pun perlu sertifikasi.
"Di Singapura average room rate 400 SGD. Di Jakarta di bawah 200 USD lalu turun lagi 150 USD. Makin bagus tenaga kerja, makin banyak tamu tidak sungkan bayar mahal. Kita harus punya sertifikasi, sertifikat S1 S2 dibawa keluar nggak laku. Kalau sertifikasi udah dibuat kayak di luar negeri mereka juga mudah menjual dirinya," ujar Alexander.
Terakhir adalah ketersediaan internet di hotel Indonesia. Diungkapkan oleh Ketua Asosiasi Penyelenggaraan Jasa Internet Indonesia, Jamalul Izza, ada tiadanya internet juga jadi hal penting. Namun pemasangan akses internet masih terkendala persoalan infrastruktur.
"Beberapa hospitality yang kita temuin ketika masuk ke hotel itu internet free wifi ada tidak? Sekian ribu hotel tidak semua bisa kita cover dengan internet, kendala di infrastruktur," ujar Jamal.
Untuk beberapa daerah di luar pulau Jawa dan Bali misalnya, Jamal harus memasang BTA untuk mensuplai internet ke sebuah hotel. Tentu dibutuhkan biaya yang tidak kecil, padahal internet sudah jadi kebutuhan global. Di daerah Timur Indonesia seperti Labuan Bajo apalagi, makin banyak tantangannya.
"Di Labuan Bajo misalnya, sinyal cuma ada pagi sampai sore. Teman saya ada yang tersasar di laut naik kapal, sore sinyal ilang. Kalau tenggelam gak ada yang tahu itu," cerita Jamal.
Sejumlah tantangan di atas memang menjadi tanggung jawab semua pihak, tidak hanya pelaku industri hospitality saja. Sekiranya semua pihak mau bersinergi untuk bersama-sama menyelesaikan tantangan tersebut demi kemajuan pariwisata di Indonesia. (bnl/fay)
Komentar Terbanyak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol