Sedari ba'da Subuh masyarakat di Desa Lelea, Kecamatan Lelea, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat mulai sibuk. Hari ini, masyarakat Desa Lelea merayakan tradisi tahunannya.
Anak gadis di Desa Lelea mulai berdandan sejak pagi, ada juga yang berdandan di depan rumahnya. Pemandangan yang menarik tentunya. Bunga kenanga dan hiasan bunga yang terbuat dari kertas tergeletak di depan rumah. Bunga-bunga tersebut merupakan pelengkap riasan para gadis di desa itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Dinda mengaku sudah tiga kali mengikuti tradisi Ngarot. Wajah Dinda terlihat sumringah. "Kalau tahun lalu mah warna kebayanya hijau, sekarang putih. Bedanya itu saja antara tahun ini dengan tahun lalu, warna kebaya itu pihak desa yang menentukan," kata Dinda saat ditemui detikTravel di kediamannya di Blok Ilir Desa Lelea, Rabu (27/12/2012).
Sejak usia 12 tahun, Dinda tak pernah absen mengikuti tradisi Ngarot. Bahkan, dikatakan Dinda mayoritas anak gadis di Desa Lelea itu pernah mengikuti Ngarot. "Teman-teman sekolah saya banyak yang ikut kok," katanya seraya bercermin.
![]() |
Sementara itu, Sinih mengaku harus menggelontorkan biaya sekitar Rp 500 ribu untuk merias ponakannya tersebut. Namun, bagi Sinih soal materi tak akan ada harganya demi menjaga tradisi yang sudah diwariskan leluhurnya.
"Habis setengah juta untuk merias nih. Tapi, jangan hitung-hitungan biaya saya ingin menghargai leluhur. Mulai merias tuh sekitar jam 05.00 WIB," kata Sinih.
Saat masih gadis, Sinih mengaku hanya dua kali mengikuti Ngarot. Baginya, Ngarot merupakan identitas Lelea. "Ya jangan sampai punah. Harus dilestarikan. Nanti leluhurnya ngamuk kalau tak dirayakan sih," ucap Sinih seraya tersenyum.
![]() |
Sekitar pukul 09.00 WIB puluhan gadis cantik yang ikut Ngarot itu mulai diarak. Tak hanya itu, remaja pria lengkap dengan pakain khas Jawa Barat, baju hitam dan bercelana hitam ikut mengiringi arak-arakan tersebut. Mereka berkeliling sekitar dua kilometer dari rumah kepala desa menuju balai Desa Lelea. Kemudian ditutup pemberian secara simbolis peralatan untuk bercocok tanam. Ribuan masyarakat antusias mengikuti tradisi tersebut.
Mengolah Tanah Adat Demi Melestarikan Tradisi
Ngarot tahun ini diikuti 85 anak gadis dan 94 remaja pria. Pelaksanaan Ngarot dikhususkan untuk para remaja. Kordinator acara Ngarot H Edy Iriana mengatakan tradisi Ngarot dimulai sejak tahun 1648, yang diinisiasi oleh Buyut Kapol selaku Kepala Desa Lelea kedua.
Buyut Kapol, dikatakan Edy memiliki harta yang berlimpah. Bahkan salah satu peninggalannya kini dijadikan sebagai tanah adat. "Tanah adat ini masih dimanfaatkan untuk bercocok tanam. Hasil dari cocok tanam itu untuk pembiayaan tradisi Ngarot," ucap Edy saat ditemui detikTravel.
Edy mengatakan luas tanah adat di Desa Lelea sekitar 2,4 hektar. Ngarot merupakan warisan Buyut Kapol yang harus terus dijaga masyarakat Lelea. Buyut Kapol dikenal sangat akrab dengan para pemuda saat memimpin desa.
![]() |
"Pasca Buyut Kapol lengser, tanah itu diberikan desa. Dan, beliau menitipkan agar Ngarot terus dilakukan. Ngarot tidak boleh punah. Tradisi ini juga merupakan wujud syukur kami atas limpahan hasil pertanian," katanya.
Edy menambahkan tanah adat tersebut kini diyakini sebagai tanah yang menjadi acuan berhasil atau tidaknya masa panen. "Kalau hasil panen di tanah adat itu jelek, maka semuanya jelek. Kalau bagus, ya semuanya bagus. Itu sih keyakinan masyarakat desa," tutup Edy. (krn/krn)
Komentar Terbanyak
Belum Dibayar, Warga Sekitar Sirkuit Mandalika Demo-Tagih ke ITDC
Warga Harap Wapres Gibran Beri Solusi Atasi Banjir Bali
Profil Menteri Haji Era Presiden Prabowo, Gus Irfan yang Hobi Sepedaan