Overtourism, Hantu Pariwisata yang Harus Diwaspadai

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Overtourism, Hantu Pariwisata yang Harus Diwaspadai

Johanes Randy Prakoso - detikTravel
Rabu, 12 Jun 2019 17:15 WIB
Ilustrasi turis yang memenuhi destinasi dengan tongsis (Vincenzo Pinto/AFP/Getty Images)
Jakarta - Seiring dengan berkembangnya tren traveling, sejumlah destinasi populer kian dipadati turis. Celakanya, malah jadi musibah bagi destinasi dan warga lokalnya.

Adalah overtourism atau fenomena di mana sebuah destinasi tak lagi mampu menampung turis yang datang. Dewasa ini, permasalahan di sektor pariwisata itu mulai dialami oleh banyak destinasi populer di dunia.

Diketahui, fenomena tersebut tengah dialami oleh sejumlah destinasi wisata populer di Eropa dewasa ini. Salah satu yang menyikapinya adalah penulis bernama Leonid Bershidsky dalam kolom Bloomber Opinion.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dikutip detikcom, Rabu (12/6/2019), Leonid mengibaratkan trend traveling yang kian mudah diakses layaknya membeli makanan di gerai cepat saji ternama McDonald's.

Tahun 2018 lalu saja misalnya, tercatat sekitar 1,4 miliar kedatatangan turis global. Benua Biru Eropa pun diketahui menyedot setengah dari jumlah itu dengan kenaikan sekitar 6% tahun 2017 silam.

Ramainya turis di Eropa pun berimbas pada destinasi-destinasi wisata populer di sana yang mengalami overtourism. Pada akhir bulan Mei kemarin, pekerja bagian resepsi di Museum Louvre Paris sampai melakukan boikot satu hari sebagai bentuk protes akan ramainya turis yang datang.

BACA JUGA: 20 Museum Paling Ramai Dikunjungi Turis di Dunia

Trend film seri populer Game of Thrones juga membuat Kota Dubrovnik di Kroasia mengalami peningkatan jumlah kunjungan turis, yakni sebanyak 53% di tiga bulan pertama tahun 2019 atau sekitar 101.325 ribu orang. Padahal, kota itu hanya bisa menampung 8.000 orang saja di satu waktu.

Kian murahnya tiket pesawat ke benua Biru dan berbagai faktor lainnya membuat Uni Eropa mengeruk sepertiga uang dari sektor pariwisata global. Di tahun 2016 misalnya, Uni Eropa mendapat 342 miliar Euro atau 27 miliar Euro lebih banyak dari jumlah uang yang dikeluarkan penghuni Uni Eropa saat traveling di luar negaranya.

Devisa yang didapat dari sektor pariwisata memang menggiurkan, tapi memiliki dampak sosial lain pada Benua Biru. Diumpamakan oleh Leonid, ada beberapa yang membuatnya resah.

"saya tidak dapat berkata-kata selain membayangkan, apa yang sebenarnya kita lihat saat bepergian di Eropa. Apakah hutan tongsis yang ingin saya tunjukkan pada anak perempuanku di Louvre? Kapan terakhir kali saya datang ke alun-alun Praha tanpa kena senggolan sikut berkali-kali?" ujar Leonid.

Venesia yang kerap dipadati turis (Reuters)Venesia yang kerap dipadati turis (Reuters)
Dalam laporan ter-anyarnya tentang overtourism tahun lalu, pihak Uni Eropa menemukan sekitar 105 destinasi di benuanya yang terkena overtourism. Destinasi seperti venesia, Praha, Paris dan Barcelona masuk ke dalam daftar tersebut.

Di luar yang sudah mainstream, nama Dublin, Kopenhagen, Sintra di Portugal hingga Warsawa juga mengalami hal serupa walau jumlah turisnya masih lebih sedikit. Hanya saja, destinasi tersebut juga lebih rentan menghadapi serbuan turis.

Menghadapi overtourism tersebut, sejumlah destinasi juga mulai menerapkan sejumlah solusi untuk memecah dan mengurangi lonjakan turis di satu destinasi.

Mulai dari mengubah target pasar dari yang sebelumnya mass tourism menjadi high quality tourism atau traveler yang berdompet tebal, hingga mempromosikan destinasi lain di negaranya di luar yang sudah populer.

Mungkin juga seperti Bhutan yang menerapkan pajak turis senilai 200 hingga 250 USD per hari dan membuat negaranya tetap lestari sekaligus hidup dari sektor pariwisata.

Negara Bhutan yang menerapkan pajak turis dalam jumlah besar (CNN)Negara Bhutan yang menerapkan pajak turis dalam jumlah besar (CNN)
Berkaca dari masalah yang dihadapi oleh Benua Biru Eropa, Indonesia bisa sedikit belajar banyak. Di bawah Pemerintahan Presiden Jokowi, Kemenpar dituntut menarik 20 juta wisman ke Indonesia pada akhir tahun 2019.

Dilihat dari jumlah, memang tidak seberapa besar dengan jumlah turis global yang datang ke Eropa. Hanya dengan kondisi sekarang saja, sebaran turis yang datang ke Indonesia masih terfokus pada beberapa destinasi yang masih itu-itu saja.

Sebut saja Bali yang jadi jantung pariwisata Indonesia dan belum tergantikan oleh lainnya kini, telah dikunjungi sekitar 6.070.473 turis atau mengalami kenaikan 6,54% dibanding tahun sebelumnya menurut data Badan Pusat Statistik Provinsi Bali.

Lautan turis di Uluwatu saat menonton Tari Kecak (novanirza/d'Traveler)Lautan turis di Uluwatu saat menonton Tari Kecak (novanirza/d'Traveler)
Di satu sisi, Bali masih jadi destinasi utama penyumbang devisa bagi pariwisata Indonesia sekaligus yang paling rentan terkena overtourism. Hal itu tentunya dirasakan lewat kondisi jalanan Bali yang kian ramai serta semakin banyaknya hotel di sana.

Apabila terus dibiarkan, bukan tak mungkin kalau overtourism juga bisa menimpa Bali. Jika itu terjadi, liburan ke Bali bisa jadi tak semenyenangkan dulu, walau tentunya tetap bisa menghasilkan devisa untuk negara dalam jumlah besar.

Mengalihkan turis ke destinasi di Indonesia yang belum siap menghadapi turis sepenuhnya pun juga bukan ide baik. Contohnya pun bisa dilihat dari banyaknya turis yang berwisata ke Taman Nasional Pulau Komodo di NTT.

BACA JUGA: Ini Update Terbaru Penutupan Taman Nasional Komodo

Menurut Gubernur NTT Viktor Laiskodat, ia berpendapat kalau banyaknya turis di Pulau Komodo dapat berimbas buruk pada lingkungan hidup mereka. Akibatnya, pihak KLHK beserta stakeholder terkait tengah melakukan kajian untuk terus membuka atau menutup Pulau Komodo sementara di tahun 2020 mendatang.

Sekiranya permasalahan overtourism ini tak boleh dipandang sebelah mata dan harus disikapi dengan bijak. Jangan sampai pariwisata yang seharusnya menjadi sumber devisa malah merusak destinasi serta kearifan masyarakatnya. (wsw/fay)

Hide Ads