Pulau Laut ini luasnya sekitar 37 Km2 yang paling ujung berbatasan langsung Laut Utara Natuna. Air lautnya cukup ganas terutama saat angin Utara. Pulau ini hanya bisa dijangkau dengan kapal dari Kota Ranai, Ibu Kota Natuna sekitar 4-6 jam.
Dari Ranai, kita harus menuju ke Desa Teluk Buton yang menghabiskan perjalanan darat dengan roda empat sekitar satu jam. Dari Teluk Buton, harus melanjutkan perjalanan lagi dengan kapal laut, atau warga di sana lebih familiar kapal kecil disebut Pompong. Kenapa disebut Pompong? Sederhana saja, karena suara mesin diesel di kapal yang berisik dengan suara pong-pong-pong.
Kapal paling besar menuju ke Pulau Laut yakni pemberian dari Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP). Itupun kapal ini baru ada sekitar 4 tahun yang lalu diberikan ke pihak Kecamatan Pulau Laut. Panjang kapal ini sekitar 25 meter dengan lebar sekitar 5 meter. Kapal ini dianggap paling mewah dari sejumlah kapal lainnya milik nelayan yang ada di sana.
Baca juga: Tolong! Ini Suara Pendidik di Pelosok Natuna |
Anda yang jarang-jarang naik transportasi laut, siap-siap untuk mual, muntah dan pusing. Gelombang laut cukup kuat di kawasan laut lepas ini. DetikTravel yang mengunjungi dalam misi Tapal Batas Indonesia bersama tim PLN Kepulauan Riau-Kepri pada Kamis (26/9/2019), ikut dalam kapal BNPP tersebut. Dari tepi Teluk Buton, perjalanan laut angin kencang dan gelombang tinggi sekitar 2 meter harus ditempuh selama 5 jam.
Di atas kapal, derasnya ombak membuat kapal oleng ke kiri dan kanan. Hempasan ombak berjam jam lamanya tidak berhenti. Inilah kondisi yang membuat perut mual, jika tidak tahan maka akan muntah. Baru hitungan ketinggian ombak 2 meter, rasanya sudah tak ketulungan.
Namun sejumlah warga asal Pulau Laut yang ikut dalam kapal menyebutkan bahwa kondisi tersebut adalah normal. Menurut mereka, jika angin utara datang, maka gelombang laut bisa mencapai 3 sampai 5 meter.
"Ini ombak masih normal, belum terlalu tinggi," ujar seorang penumpang kapal dalam perbincangan dengan detikTravel beberapa waktu lalu.
![]() |
Soal penumpang muntah, bukan hal tabu jika ingin ke Pulau Laut. Jangankan masyarakat luar, warga di sana pun tak luput dari kondisi yang sama. Tak ketinggalan, anggota Marinir yang ikut dalam tim Tapal Batas bersama detikcom dan PLN juga ada yang muntah di perjalanan. Laut di kawasan ini memang sangat ganas.
Setelah lima jam perjalanan, akhirnya sampai di pulau paling depan Indonesia wilayah barat. Rumah-rumah berjejer di tepi pantai dengan bentuk panggung. Sebagian ada di darat. Bukit menjulang tinggi di pulau itu. Ribuan pohon kelapa tubuh subur di tepi pantai.
Bahasa yang digunakan bahasa melayu dengan dialek yang cukup cepat dan susah dimengerti. Namun masyarakatnya di sana terkenal ramah.
Di pulau inilah menyimpan misteri harta karun emas. Mengapa? Kisah harta karun emas ini masih terkait kisah panjang perang saudara di Vietnam tahun 1980-an. Kala itu, perang saudara membuat masyarakatnya harus mengungsi ke Indonesia.
Jarak terdekat dari garis pantai Vitenam adalah Pulau Laut, hanya butuh waktu sekitar 7 hingga 9 jam dengan pompong. Di sinilah kisah awal tersimpannya harta karun berbentuk emas di pulau itu.
Ada ribuan pengungsi terdampar mencari suaka politik ke Indonesia. Pulau Laut salah satu tempat mereka bersandar dengan kapal-kapal kecil. Pengungsi terombang-ambing berhari-hari di laut akhirnya terdampar di wilayah Indonesia. Warga Vietnam ini dibantu masyarakat Pulau Laut untuk mendarat.
"Kala itu mereka dalam kondisi kelaparan karena dua atau tiga hari mereka hanya ada di kapal dengan perbekalan seadanya. Sampai di darat, mereka kita bantu makan," kata Ketua Lembaga Adat Kepri Kecamatan Pulau Laut, Kasih (72) kepada detikTravel, Kamis (26/9/2019).
Mereka yang melarikan diri dari Vietnam, umumnya adalah keluar yang mampu. Untuk bisa keluar dari negaranya, ada calo yang memfasilitasi mereka untuk bisa meninggalkan negaranya.
Dalam pelariannya, warga Vietnam ini banyak yang membawa emas sebagai perbekalan. Hanya harta emas yang bisa mereka bawa untuk menyelamatkan hartanya.
"Umumnya orang Vietnam yang terdampar di sini orang-orang kaya. Mereka bukan orang susah, hanya saja harta yang bisa mereka bawa hanya emas," kata Kasih pria yang era 1980-an ikut membantu pendaratan pengungsi Vietnam.
Dari mana warga Pulau Laut ini tahu mereka bawa emas?. Rupanya kisah bawa emas ini ketahuan ketika mereka berbelanja ke masyarakat di sana. Alat tukar untuk membeli beras, ikan, sayuran menggunakan perhiasan emas. Ada bentuk cincin, gelang, atau potongan emas kecil. Warga pengungsi ini diberikan tempat tidur di seluruh sekolah yang ada di Pulau Laut. Kala itu kondisi pendidikan di sana sempat terganggu karena seluruh fasilitas sekolah dijadikan barak pengungsi.
"Kita kasihan melihat mereka. Warga sini senang-senang aja, gak ada yang keberatan, kita senang membantunya. Kita ajak makan di rumah warga, walau kita sama-sama tak paham akan bahasa masing-masing," kata Pak Kasih yang saat peristiwa itu terjadi usianya baru akan memasuki kepala empat.
Para pendatang ini, paling lama hanya dua bulan di Pulau Laut. Namun pengungsi silih berganti berdatangan. Mereka akhirnya dikumpulkan UNHCR di Pulau Galang, di sebelah pulau Batam.
Rupanya, selama mereka di Pulau Laut ada menyimpan harga emasnya. Emas mereka tanam di tanah dengan tanda pohon. Kala itu hutan di pulau ini masih begitu rapat. Ada emas batangan, ada yang sudah berbentuk perhiasan.
Ini diketahui setelah Vietnam damai, dan mereka dipulangkan dari Pulau Galang tempat pengungsian terakhir, belasan tahun kemudian ada anak-anak mereka yang kembali ke Pulau Laut.
Malah di tahun 2019 juga ada sanak keluarga dari bekas pengungsian yang kembali ke Pulau Laut. Apa yang mereka cari? Ternyata mereka ingin mencari emas orang tuanya yang dulunya mereka pendam di tanah.
"Kemarin ada yang datang, dia bilang saat itu dia masih kecil, tapi disuruh menyaksikan kedua orang tuanya saat emas ditanam di kawasan hutan," kata Kasih.
Pak Kasih salah satu saksi hidup yang diajak warga Vietnam untuk mencari harta karun orang tua mereka. Tapi yang menjadi persoalan, kondisi alamnya sudah berbeda. Batang pohon yang dulu sebagai penanda adanya emas di bawahnya, kini tak tampak lagi. Pepohonan sudah banyak yang berubah jadi ladang pertanian pohon kelapa.
"Kita berusaha membantu untuk mencari emas itu. Tapi mau bagaimana lagi, tanda-tanda kayu yang mereka ingat, sekarang tak ada lagi. Akhirnya tak satupun yang berhasil menemukan emas itu," kata Kasih.
Mereka kembali ke Pulau Laut, juga sekalian ziarah. Mereka ingin melihat kuburan para orang tua atau keluarganya. Sayangnya, hanya saat pemakaman dulunya tidak ada tanda sebagaimana umumnya kuburan di Indonesia. Warga Vietnam yang meninggal di pengungsinya, hanya ditanam bermodalkan tumpukan batu. Satu lobang, bisa jadi ada 5 sampai 10 jenazah di dalamnya.
DetikTravel menyaksikan salah satu kuburan yang masih tersisa. Lokasinya masih di Pulau Laut hanya sekitar 20 meter dari tepi jalan utama warga setempat. Semak belukar menutupi kuburan bekas pengungsi Vitenam. Bentuknya gundukan tanah yang di atasnya diberi batu padas. Tidak ada tanda patok atau tanda lainnya yang menunjukkan lokasi itu adalah kuburan.
"Dulu saya membantu menguburkan warga Vietnam yang meninggal di pengungsian. Hanya lokasi ini yang saya ingat. Selebihnya masih ada kuburan lainnya, tapi tak tahu di mana lokasinya lagi," tutup Kasih.
![]() |
Kini kondisi Pulau Laut tak lagi seperti dulu. Sejak tahun 2017 silam, pulau yang dihuni 2000-an jiwa ini kini sudah menikmati listrik PLN yang hidup 24 jam. Di sana ada sekitar 600 pelanggan PLN.
Kehadiran PLN Wilayah Riau-Kepri di bawah tampuk pimpinan Irwansyah Putra telah menerangi pulau terdepan Indonesia. Dulunya masyarakat di sana hanya mengandalkan mesin genset sendiri. Mesin diesel yang dimiliki warga biasanya hanya bisa hidup pukul 17.00 WIB hingga pukul 22.00 WIB.
"Allahamdulilah, sejak masuk PLN di wilayah kita, sangat membantu masyarakat, terutama membantu perekonomian," kata Camat Pulau Laut, Sudirman.
Masyarakat di Pulau Laut umumnya membuat rumah di tepi pantai dan saling berhimpitan satu sama lain. Rumah mereka berbentuk panggung dengan ketinggian lebih dari 3 meter dari dasar pantai.
Bisa dibayangkan, kalau sudah sore hingga malam, maka akan ada suara bising mesin diesel. Masing-masing rumah mengeluarkan suara mesin yang membuat kebisingan beberapa jam lamanya.
"Dulu kita di sebalik dinding saja untuk memanggil tetangga nggak kedengaran. Ini karena suara mesin diesel bising," kata Sudirman.
Kini, dengan adanya listrik PLN yang menerangi 24 jam, membuat masyarakat merasa nyaman. Pengeluaran dana untuk BBM mesin diesel jauh berkurang. Kehadiran 'setrum' PLN membuat masyarakat bisa lebih irit lagi dibanding sebelumnya.
"Dulu kita bisa menghabiskan dana minimal Rp 600 ribu per bulan untuk beli solar dengan daya hidup listrik hanya 5 jam. Ini belum biasa olinya dan kerusakan. Sejak pakai PLN biaya kebutuhan listrik kami jauh berkurang," kata Sudirman.
Detikcom bersama PLN mengadakan program Tapal Batas yang mengulas mengenai perkembangan infrastruktur listrik, perekonomian, pendidikan, pertahanan dan keamanan, hingga budaya serta pariwisata di beberapa wilayah terdepan. Ikuti terus berita tentang ekspedisi di pulau-pulau terdepan Indonesia di tapalbatas.detik.com!
(mul/mpr)
Komentar Terbanyak
Penumpang Hilang HP di Penerbangan Melbourne, Ini Hasil Investigasi Garuda
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Ada Apa dengan Garuda Indonesia?