Nasib sial harus dialami oleh 2 bersaudara, Tom dan Ben Osborn asal Dunedin, Selandia Baru. Keduanya ditahan oleh Kepolisian Hong Kong karena membawa senapan ikan itu saat akan naik pesawat.
Tom dan Ben mengklaim semua itu gara-gara saran dari petugas maskapai Cathay Pacific yang menyebut bahwa speargun mereka aman untuk dibawa check in ke dalam pesawat. Namun ternyata, saat tiba di Hong Kong mereka malah ditahan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Selama ini, mereka aman-aman saja ketika membawa speargun ke beberapa negara di dunia. Pun ketika saat berangkat menuju ke Roma. Saat transit di Hong Kong, tas mereka sempat diperiksa selama setengah jam, tapi akhirnya bisa melanjutkan perjalanan kembali.
Saat perjalanan pulang, mereka sudah ingin memaketkan speargun-nya saja karena takut terjadi masalah. Tapi oleh saran dari petugas Cathay Pacific, senapan tombak ikan itu boleh saja dibawa dan di check ini sebagai 'special baggage'.
Tom dan Ben pun menurut saja karena petugas tersebut terlihat paham. Lagian, Tom dan Ben akan menghabiskan waktu 2 hari di Hong Kong sebelum pulang ke rumah.
Namun saat tiba di Hong Kong dan hendak check in, Tom menjelaskan isi tasnya yaitu senapan ikan, petugas check in langsung bertanya dengan terkejut: "Speargun? Kalian membawa speargun?"
Tak berapa lama, kakak-beradik ini pun digelandang ke ruang interogasi oleh Kepolisian Hong Kong. Di sana, mereka mendapat penjelasan bahwa speargun termasuk sebagai senjata ilegal dan harus menjalani persidangan.
"Mereka bilang, 'Ini bisa memakan waktu berminggu-minggu dan sampai kami siap membawa kasus ini ke persidangan, kalian akan tetap ditahan di Hong Kong'," kata Tom menirukan ucapan petugas.
Karena sudah putus asa dan ingin segera pulang, Tom dan Ben menyatakan diri bersalah karena sudah membawa senjata berbahaya. Itu berarti Tom dan Ben harus membayar denda sebesar HK$6.000 (setara Rp 10,7 juta) dan sebuah catatan kriminal.
Kembali ke bandara, Tom dan Ben pun komplain ke meja Cathay Pacific. Atas kejadian itu, mereka ketinggalan pesawat pulang. Ironisnya, di sana mereka diberi tahu bahwa penerbangan pulang ke Auckland sudah penuh.
"Gara-gara kalian, kami harus ketinggalan pesawat. Kalian harus carikan kami penerbangan. Tapi jawaban mereka: 'Kami sudah penuh'. Benar-benar tanpa belas kasihan," kata Ben.
Tom dan Ben pun membeli tiket baru naik Qantas, transit di Sydney. Setelah sampai di rumah, mereka komplain lagi secara resmi ke Cathay Pacific, tapi lagi-lagi tidak mendapat hasil yang memuaskan karena maskapai tersebut menolak untuk bertanggung jawab.
"Kami menerima email, isinya mereka bersimpati atas kejadian itu, tapi mereka tidak bersalah. Yang mana bagi kami itu adalah penipuan. Kami juga ditawari masing-masing $100, tapi bagi kami itu seperti penghinaan," pungkas Ben.
(wsw/krs)
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum