Tradisi mudik tentunya melibatkan mobilitas penduduk dengan jumlah yang sangat banyak. Kondisi semakin kompleks ketika pandemi Corona datang ke Indonesia.
Dalam Webinar yang diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bersama Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, dan Ikatan Praktisi dan Ahli Demografi Indonesia (IPADI) terkait 'Dilema Kebijakan Publik Saat Pandemik COVID-19', Rusli Cahyadi selaku Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI & Koordinator Kaji Cepat RISTEK-BRIN untuk COVID-19 membagikan survei persepsi masyarakat tentang mudik di tengah Corona.
Survei ini dilakukan oleh Kementerian Riset dan teknologi,LIPI, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Politeknik Statistika Sekolah Tinggi serta Jurnalis Bencana dan Krisis Indonesia. Survei dilakukan melalui media sosial dan internet dengan responden yang dominan mewakili penduduk pulau Jawa dan berpendidikan tinggi, yaitu Diploma, Sarjana dan Pasca Sarjana (70-80%).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Dilema Mudik dan Segala Risiko yang Menunggu |
Menurut survei, terdapat 5 provinsi asal yang melakukan mudik terbesar. Provinsi itu berasal dari DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Banten.
"Studi kita juga melihat bahwa ada 5 provinsi besar provinsi asal, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Banten kita lihat di 5 provinsi keseluruhannya wilayah yang relatif besar pasien positif corona hingga hari ini," kata Rusli.
Lalu, pergerakan mudik terbesar berasal dari Jawa Barat. Penduduk Jawa Barat biasanya akan menuju wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, DIY serta menuju DKI Jakarta.
"Hasil survei menunjukkan pergerakan mudik terbesar berasal dari Jawa Barat, sebesar 22,94 %, diikuti DKI Jakarta 18,14 %, Jawa Timur 10,55 %, Jawa Tengah 10.02 % dan Banten 4,68%,"
Rusli mengatakan, studi terdahulu menyatakan bahwa mudik bukan semata-mata fenomena ekonomi, namun fenomena sosial budaya. Dalam kondisi sesulit apapun masyarakat akan tetap mudik sehingga hal ini menjadi sesuatu yang tidak perlu ditanyakan.
"Ada perasaan yang sangat kuat yang sangat besar dari pelaku untuk terhubung kembali pada masa lalu yang dekat yang akrab dengan keluarga, komunitas, lingkungan desa, imajinasi tentang sawah, tentang kehidupan di kampung dan sebagainya. Segala cara dilakukan oleh orang-orang untuk bisa mudik mengumpulkan uang berdesakan di dalam antrian orang maupun kendaraan," kata Rusli.
Potensi penyebaran virus Corona akan membuat masyarakat berpikir dua kali untuk pulang ke kampung halaman. Namun saat ini di tengah masyarakat yang banyak kehilangan mata pencaharian membuat sebagian penduduk memilih pulang kampung dibandingkan menetap di kota. Saat ini faktor ekonomi sangatlah berpengaruh.
"Kondisi semakin kompleks dengan situasi pandemi COVID-19 yang menyebabkan terganggunya penduduk akibat terhentinya sebagian kegiatan ekonomi," kata Rusli.
Saat ini, kerja sama antara pemerintah dan publik sangat dibutuhkan. Pemerintah diharapkan memberikan kebijakan bagi penduduk yang tidak punya pilihan selain pulang kampung.
"Secara grafik menunjukkan bagaimana pergerakan calon pemudik dari satu lokasi ke lokasi lain itu menunjukkan potensi penularan luar biasa, jadi di sini, publik diharapkan berpartisipasi untuk tidak mudik, tetapi kita sangat memerlukan kejelasan dari pemerintah kebijakan yang ingin diterapkan seperti apa," tambah Rusli.
(elk/ddn)
Komentar Terbanyak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Viral Keluhan Traveler soal Parkir Jakarta Fair 2025: Chaos!