Wali Kota Jepang Dikritik Gegara Minta Hanya Laki-laki yang Belanja

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Wali Kota Jepang Dikritik Gegara Minta Hanya Laki-laki yang Belanja

Ahmad Masaul Khoiri - detikTravel
Senin, 27 Apr 2020 11:16 WIB
Akihabara Electric Town, Tokyo, Jepang
Ilustrasi pertokoan di Jepang, Akihabara Electric Town, Tokyo (Foto: iStock)
Osaka -

Salah seorang petinggi di Jepang meminta hanya anggota keluarga laki-laki yang berbelanja ke toko kelontong saat pandemi Corona. Alasannya, perempuan butuh waktu lebih lama jika melakukan hal serupa.

Adalah wali kota dari kota terbesar ketiga di Jepang yang melontarkan wacana itu. Wali Kota Osaka, Ichiro Matsui menganjurkan hal itu pada Kamis lalu.

"Perempuan membutuhkan waktu lebih lama berbelanja bahan makanan karena mereka menelusuri berbagai produk dan mempertimbangkan pilihan mana yang terbaik," kata Matsui.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Para pria dengan cepat mengambil apa yang diperintahkan untuk dibeli sehingga mereka tidak akan berlama-lama di supermarket yang menghindari kontak dekat dengan orang lain," tambah dia.

Seperti diberitakan CNN, anjuran Ichiro langsung menghadapi reaksi publik. Ia beranggapan bahwa pria lebih cocok untuk berbelanja bahan pangan selama pandemi Corona karena wanita terlalu lama dan berkontribusi terhadap kepadatan di supermarket.

ADVERTISEMENT

Anjuran wali kota itu juga dicibir jurnalis populer Jepang, Shoko Egawa. "Orang yang tidak tahu apa-apa tentang kehidupan sehari-hari tidak boleh membuat komentar," katanya dalam sebuah cuitan di Twitter dan direspon dengan ribuan retweet.

Jepang didominasi laki-laki...

Jepang merupakan negara dengan laki-laki yang lebih mendominasi susunan masyarakatnya. Negara ini berada di peringkat 110 dari 149 negara dalam indeks kesenjangan gender global Forum Ekonomi Dunia (WEF) terbaru.

Negara ini juga berada di peringkat bawah di antara negara-negara G7 untuk kesetaraan gender. Perdana Menteri Shinzo Abe berjanji memberdayakan perempuan yang bekerja melalui kebijakan yang disebut 'womenomics'. Padahal, perempuan di Jepang berjumlah 51% dari total populasi, menurut data Bank Dunia.

Osaka ditetapkan dalam keadaan darurat sejak 7 April. Komentar Matsui muncul setelah ia menyarankan supermarket membatasi jumlah orang yang memasuki toko, dan merekomendasikan kepada masyarakat hanya berbelanja bahan makanan satu kali setiap dua hingga tiga hari.

Peningkatan tajam kasus infeksi Corona mendorong Perdana Menteri Shinzo Abe memperluas keadaan darurat dari tujuh prefektur ke seluruh negara pada 17 April.

Jumlah kasus positif Corona di Jepang telah meningkat dalam beberapa pekan terakhir. Hal ini membuat keraguan akan keberhasilan pemerintah mengendalikan penyebarannya.

Hingga Minggu 26 April, 12.829 orang Jepang dikonfirmasi terinfeksi Corona dengan jumlah kematian mencapai 345 orang, menurut Universitas Johns Hopkins. Pada 1 Maret, negara itu hanya memiliki 243 kasus. Lonjakan itu telah mendorong pemberlakuan pembatasan sosial baru secara nasional.

Pekan lalu, tim ahli pemerintah memperingatkan bahwa 400.000 warga Jepang dapat meninggal terkait virus Corona jika tidak ada langkah-langkah pembatasan sosial. Sebagian besar kematian itu dapat disebabkan oleh kurangnya ventilator.

Penanganan Corona di Jepang sudah dikritik sejak awal. Kurangnya respon pemerintah terutama dalam tes Corona jadi penyebabnya.


Hide Ads