Warnet (warung internet) dijadikan rumah bagi ribuan orang di kota-kota besar Jepang. Namun, pandemi Corona memaksa mereka keluar dari biliknya.
Salah satu yang mengalami kejadian ini adalah Takahashi. Ia bekerja di sebuah situs konstruksi dan uangnya hanya cukup untuk membayar satu bilik saja di sebuah warnet Tokyo tiap malam.
Pandemi Corona membuat Takahashi kehilangan pekerjaan juga rumahnya, yakni sebuah bilik di dalam warnet. Pria berusia 35 tahun itu lalu memilih tidur di terminal bus dan sudah berlangsung selama dua minggu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Takahashi merupakan satu dari sekitar 4.000 orang yang dipaksa keluar dari bilik warnet atau bisa disebut pengungsi. Para tunawisma ini, kebanyakan laki-laki, membayar bilik warnet seharga antara Rp 256 ribu di hari biasa dan Rp 423 ribu di hari libur.
Seperti di Indonesia, warnet yang ada di Tokyo ini beroperasi 24 jam. Jadi orang bisa tidur di dalamnya meski biliknya sangat sempit. Untuk menghentikan penyebaran virus Corona, pemerintah Jepang memutuskan penutupan warnet karena keadaan darurat nasional.
Otoritas Jepang mengatakan sudah menyediakan perumahan darurat. Secara tak langsung, pandemi Corona mengungkap masalah yang berlangsung selama puluhan tahun.
Tokyo sebagai kota makmur dengan teknologi tingginya juga memiliki masalah tunawisma. Di sana ada 5.126 tunawisma, angka dari pemerintah metropolitan Tokyo di tahun 2019
![]() |
Sebagian besar dari jumlah itu, yakni sejumlah 4.000 di antaranya memilih tinggal di bilik warnet. 1.000 lainnya memilih tinggal di bawah jembatan, kotak kardus atau tenda di taman dan sepanjang tepi sungai, LSM lokal percaya jumlahnya lebih banyak.
"Orang-orang mulai menggunakan warnet sebagai alternatif hotel murah. Tempat itu berangsur-angsur berubah menjadi semacam penampungan gelandangan yang sedikit eksotis," kata Tom Gill, seorang antropolog sosial di Universitas Meiji Gakuin.
Selain 24 jam, warnet di Tokyo juga memiliki fasilitas seperti, kafe manga, kamar mandi, tempat mencuci pakaian, juga kafe bersama. Faslitas utama dari warnet ini bisa disewa per jam, harian atau semalaman untuk tempat tidur.
Ada begitu banyak warnet di Tokyo. Tempat ini jadi favorit bagi mereka yang menginginkan penginapan murah.
Selama beberapa dekade terakhir, pekerja paruh waktu dan temporer seperti Takahashi meningkat pesat. Hal itu disebabkan oleh legalisasi pekerja kontrak pada tahun 1986 dan tahun 1999 mendapat legalisasi penuh.
Pada tahun 2019, Jepang memiliki 22 juta pekerja paruh waktu dan temporer. Meningkat lima juta orang dibanding 17 juta pada tahun 2011, menurut Kementerian Dalam Negeri dan Komunikasi Jepang.
Upah minimum di Tokyo>>>
Komentar Terbanyak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Viral Keluhan Traveler soal Parkir Jakarta Fair 2025: Chaos!