Ini adalah kisah pria Amerika Serikat yang menjadi porter di Gunung Everest. Ia berasal dari kalangan berada namun memilih jalan itu untuk mendaki gunung tertinggi di dunia.
Diberitakan CNN, ia bernama Nate Menninger. Pemuda petualang ini berasal dari Boston.
Ia memilih menjadi porter untuk mendaki Gunung Everest dibanding memakai agen yang terorganisir. Pria berusia 26 tahun itu juga jadi warga luar pertama yang menjadi porter di Gunung Everest.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam sehari, Nate dibayar USD 15 atau setara Rp 221 ribu dan harus mengangkut beban sekitar 100 kilogram. Ia harus mampu berjalan di jalanan terjal dan tidur di gubuk beku di mana porter lain beristirahat.
Nate tak menyia-nyiakan perjalanannya itu. Film dokumenter pun tercipta yang menjelaskan betapa besar peran porter dalam pendakian di Gunung Everest dan cara mereka mendapat nafkah di tempat paling keras di dunia.
![]() |
Awal mula menjadi porter Gunung Everest
Nate tak langsung menjadi porter kala datang ke Nepal. Sebelumnya, ia menjadi guide di sana, belajar bahasa dan kemudian tertarik mendalami kehidupan para porter.
Di sisi lain, Nate juga ingin mendaki Gunung Everest namun tak mampu membayar izin pendakian hingga fasilitas pendukung untuk menggapai puncak. Ia lalu berpikir menjadi porter adalah jalan gratis menggapainya.
"Ketika saya memandu musim panas itu, saya melihat bagaimana kehidupan porter untuk pertama kalinya. Saya melihat mereka tidur di lantai. Saya melihat bagaimana mereka makan, dan begitu kuatnya mereka," kata dia.
"Dan saya menyadari jika saya mendaki Everest sebagai porter, saya tidak perlu membayar USD 65.000 atau Rp 958,6 juta. Malah akan dibayar," jelas dia.
"Itulah satu-satunya cara yang memungkinkan saya dapat mencoba mendaki Gunung Everest pada usia saya," imbuh dia.
Pada akhirnya, ia tak berencana ke puncak Everest lagi. Ia memutuskan membuat film dokumenter yang mengangkat kehidupan porter selama pendakian 11 hari yang dimulai dari Kota Lukla, di ketinggian 2.865 MDPL, menuju ke Everest Base Camp.
"Tujuan saya adalah mendapatkan pengalaman yang sama persis dengan porter, apa pun yang terjadi," jelas Nate.
"Saya ingin melihat apakah saya kuat menanggung pekerjaan ini dan apakah saya bisa sekuat porter," kata dia.
Pengalamannya yang melelahkan itu direkam dalam film dokumenter berdurasi satu jam. Judulnya 'The Porter'.
![]() |
Porter Gunung Everest begitu tangguh
Dalam penggambaran sebagai porter asli, Nate harus mengangkat beberapa tas yang diikat menjadi satu. Ia juga harus tidur di rumah porter yang ramai.
Makanan selama menjadi porter juga sangat sederhana, makan nasi dengan lentil. Hidup dengan pola makan nasi dengan lentil, membuat berat badannya turun hingga 9 kilogram dan tidak mandi selama lebih dari tiga minggu.
Nate ingin larut dalam kehidupan para porter. Namun, apa yang dirasakannya itu masih baru sebatas permukaan saja.
"Saya memiliki pengalaman yang sangat berbeda dari porter biasa karena saya hanya datang untuk satu kali perjalanan. Itu hanya snapshot. Saya tidak terlalu bergantung pada uang," kata dia.
Tiap hari, para porter harus bangun sekitar pukul 07.30 dan pergi ke hotel klien untuk mengambil tas. Lalu, beberapa tas itu diikat dan dimulailah perjalanannya.
"Satu porter membawa tas dua klien, begitulah cara kerjanya. Kamu bergerak sangat cepat. Hampir sepanjang hari," ujar dia.
Selanjutnya: Pengeluaran dan penghasilan porter >>>
Pengeluaran dan penghasilan porter
Para porter Gunung Everest harus membayar makanan dan akomodasi mereka sendiri selama ekspedisi. Nate mengatakan beberapa orang hanya makan setengah porsi untuk menekan biaya.
Saat melakukan ekspedisi, porter akan menghabiskan sekitar USD 7 atau Rp 103 ribu per hari untuk makanan dan akomodasi. Semakin naik ketinggian gunungnya, biayanya semakin mahal hingga mencapai USD 20 atau Rp 294 ribu.
"Jadi, Anda benar-benar mengandalkan tip," jelas Nate.
Biasanya para porter akan menerima uang tip sebesar USD 100. Jika kliennya baik hati dan terkesan dengan pelayanan porter, bisa jadi akan memberi USD 500 atau Rp 7,4 juta.
Mereka menerima tip mereka pada malam terakhir ekspedisi. Tetapi, para porter masih bekerja pro bono di hari ke-12 untuk mengawal para pendaki ke bandara.
Pada musim pendakian, para porter bisa melakukan lima atau delapan kali layanan berturut-turut.
Nate sendiri telah kembali ke Amerika Serikat pada tahun lalu.
Tak ada komunikasi porter dan pendaki
Kini, Gunung Everest belum membaik karena pandemi Corona. Biasanya, pemasukan dari pendaki ke negara Nepal bisa mencapai USD 300 juta.
Pada tahun lalu, ketika jumlah pendaki membeludak di puncak Gunung Everest, 11 orang meninggal dunia. Ada beberapa penyebab, cuaca ekstrem, tak berpengalaman dan maraknya komersialisasi pendakian.
Di sisi lain, dalam praktiknya, klien dan porter jarang berkomunikasi karena kesenjangan sosial. Klien adalah orang-orang kaya.
"Pemandu hanya sedikit berbicara, sedang porter sama sekali tak pernah komunikasi dengan klien," jelas Nate.
"Jadi tidak ada pertukaran budaya. Biasanya saat traveling ke suatu tempat untuk belajar lebih banyak. Untuk bertemu orang lain dan bertukar pikiran," tambah dia.
Dia melihat kesenjangan antara penduduk setempat dan turis secara langsung. Ia juga percaya kurangnya komunikasi telah menciptakan banyak masalah.
"Ada pemisahan antara gunung kita dan gunung mereka. Sampah mereka dan sampah kita. Ini cara yang mengerikan untuk menangani situasi ini," lanjutnya.
Nate enggan memberi tahu tentang tip yang baik atau buruk dan berharap lebih banyak yang mengetahui seberapa banyak porter bergantung pada penghasilan mereka yang terbilang rendah itu.
"Orang-orang yang tinggal di sana membuat segalanya menjadi mungkin," katanya.
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum