Tenun Sumba memiliki filosofi dan nilai budaya tinggi dalam pembuatannya. Namun ada banyak tantangan yang dihadapi perajin masa kini.
Tantangan pertama yang dihadapi para perajin adalah soal penggunaan warna untuk kain. Tenun Sumba sejatinya menggunakan pewarna alami seperti akar mengkudu, daun palem, hingga kayu kuning. Akan tetapi saat ini banyak perajin yang beralih menggunakan pewarna kimia untuk mempercepat produksi.
Hal itu diungkakapkan Umbu Ignas, warga Desa Haumara yang keluarganya merupakan perajin tenun Sumba. "Tantangan pertama karena banyak yang menggunakan pewarna kimia. Itu tantangan sejak tahun 80-an," kata dia kepada detikcom.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penggunaan pewarna kimia ini memang membuat proses pembuatan tenun Sumba menjadi lebih ringkas, hanya sekitar 3 bulan, berbeda dengan tenun Sumba yang diwarnai secara alami bisa memakan waktu sampai setahun untuk mengerjakan 1 lembar kain seukuran 2,5-3 meter.
Selain itu harganya juga lebih murah yang berkisar ratusan ribu rupiah. Itulah yang menyebabkan wisatawan lebih suka membeli tenun Sumba dengan pewarna kimia dibandingkan yang menggunakan pewarna alam yang harganya bisa mencapai Rp 3 juta bahkan lebih.
![]() |
Tantangan kedua adalah adanya produk yang mencontoh motif tenun Sumba. Motif yang dibuat perajin tenun Sumba tidak sembarangan. Banyak insipirasinya bahkan datang dari mimpi dan umumnya menggambarkan kepribadian orang yang akan mengenakannya.
"Di tahun 90-an, tantangan kedua ketika dari Jepara mengkopi kain-kain NTT secara keseluruhan. Orang menganggap itu kain tenun Sumba padahal hanya motifnya saja tapi yang mengerjakan dari Troso, Jepara," kata Umbu Ignas.
"Kita tidak bisa menyalahkan 100 persen karena perkembangan zaman. Kesalahan kenapa kami tidak bilang pada waktu itu bahwa ini adalah hasil karya orang Sumba," ia melanjutkan.
Nah, di masa kini, tantangan baru yang harus dihadapi kain tenun Sumba adalah kemunculan kain-kain printing. Mirip seperti batik, masyarakat umum cenderung banyak membeli batik cap daripada batik tulis karena harganya tinggi.
"Dengan adanya printing sekarang, kalau orang mau menggunakan kain sebagai baju, lebih bagus menggunakan printing. Printing ini mereka cetak motif menggunakan motif dan kain yang lebih haus. Itu merupakan tantangan yang luar biasa pada saat ini," ujarnya.
Di samping sejumlah tantangan itu, saat ini tenun Sumba juga dituntut untuk berevolusi menyesuaikan perkembangan zaman. Dimulai dari motif hingga penggunaannya yang dapat menyentuh generasi muda.
Pecinta tenun Sumba yang juga donatur Rumah Tenun, Tina Doeana mengungkapkan saat ini sudah ada sejumlah desainer muda yang melirik tenun Sumba dan berinovasi membuat pakaian dari kain ini.
"Desainer Yuda Pradana dari Bandung, dia mampu membuat kain tenun Sumba ini langsung menjadi baju tanpa dipotong. Kenapa tanpa dipotong? Karena kain itu kan suatu art (seni) ya. Sayang kalau dipotong. Dengan adanya Yuda, dia bisa bikin kain tadi semoderen mungkin sehingga bisa dipakai anak-nak muda," kata Tina.
Untuk semakin mempopulerkan tenun Sumba, Tina juga berharap ke depannya akan semakin banyak trip wisata ke Sumba. Dengan begitu, akan semakin banyak masyarakat khususnya generasi muda yang teredukasi mengenai tenun Sumba ini.
"Destinasi Sumba sedang booming saat ini sehingga anak-anak generasi Z sudah mulai mengerti mengenai nilai sebuah tenun Sumba. Saya harap ini akan terus berlangsung seiring dengan banyaknya tur ke Sumba,"ujarnya.
(pin/pin)
Komentar Terbanyak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Viral Keluhan Traveler soal Parkir Jakarta Fair 2025: Chaos!