China Banjir, Kata Peneliti Ada Kaitannya dengan Cuaca Ekstrem Kalimantan

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

China Banjir, Kata Peneliti Ada Kaitannya dengan Cuaca Ekstrem Kalimantan

bonauli - detikTravel
Jumat, 23 Jul 2021 10:40 WIB
People move through flood water after a heavy downpour in Zhengzhou city, central Chinas Henan province on Tuesday, July 20, 2021. Heavy flooding has hit central China following unusually heavy rains, with the subway system in the city of Zhengzhou inundated with rushing water and thousands of residents having to be relocated. (Chinatopix Via AP)
China banjir (AP/Stringer)
Jakarta -

China baru saja mengalami banjir terparah dalam 1.000 tahun. Sebelumnya, Kalimantan pun mengalami cuaca ekstrem dan fenomena langka.

Ternyata ini semua berkaitan secara oseanografi. Widodo Setiyo Pranowo, peneliti Laboratorium Data Laut dan Pesisir, Pusat Riset Kelautan, Badan Riset dan SDM, KKP menjelaskan adanya kaitan antara China dan Kalimantan.

"Penyebab Banjir di China pada 21 Juli 2021, kemungkinan besar akibat kopling dari 2 siklon kuat yang mengeroyoknya, yakni Siklon Tropis Cempaka dan Siklon Tropis In-Fa," ucap Widodo kepada detikTravel.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Widodo melihat kejadian secara kronologis spasial dan temporal. Kemungkinan berhubungan erat dengan kejadian interaksi cuaca laut ekstrim yang berlangsung di Selat Karimata pada 13-14 Juli 2021.

"Pada 13 Juli 2021, beberapa kapal di perairan pesisir Kalbar mengalami kecelakaan laut kemudian tenggelam. Kemudian pada 14 Juli 2021, terjadi fenomena langka di mana ribuan teripang terdampar di pantai Sambas pasca kopling gelombang tinggi dengan kondisi muka laut menuju pasang yang diiringi oleh hujan dan petir," jelasnya.

ADVERTISEMENT
Data oseanografi banjir di China-KalimantanData angin terkait banjir di China-Kalimantan Foto: (Widodo Pranowo/Istimewa)

Hujan tersebut bahkan menyebabkan banjir di beberapa lokasi di Kalbar pada 15-21 Juli 2021. Genangan air sisa banjir tersebut pun diketahui belum surut.

Secara kronologis, maka pada bulan Juni hingga Agustus adalah musim di mana terjadinya angin monsun timur/tenggara. Angin monsun dikatakan tenggara karena ada angin yang bergerak dari arah Benua Australia menuju ke arah Barat-laut.

Angin tersebut ada yang menuju ke Laut Jawa yang kemudian berbelok ke Timur-laut setelah menyusuri Selat Karimata, lalu menuju ke Laut Natuna Utara yang kemudian menuju ke Laut China Selatan.

Angin dari arah Benua Australia juga ada yang bergerak melewati Laut Banda kemudian berbelok ke Utara melewati Selat Tolo, Selat Lifamatola dan Laut Maluku. Angin tersebut kemudian bergerak menyusuri tepi timur Kepulauan Mindanau Filipina, kemudian terus bergerak ke arah China dan Taiwan.

Data oseanografi banjir di China-KalimantanDeteksi Satelit Meteosat pada 21 Juli pukul 22.00 WIB (Widodo Pranowo/Istimewa)

"Selain mendapatkan angin monsun dari arah Indonesia, di sekitaran Kepulauan Mindanau, Taiwan, dan Guangzhou China, juga mendapatkan angin monsun timur yang arah datangnya dari Samudera Pasifik," katanya.

Dorongan angin dari timur yakni dari arah Samudera Pasifik. Kemudian bertemu dengan angin dari arah tenggara/selatan yakni dari Laut Sulawesi/Halmahera. Sehingga menyebabkan pusaran angin dengan arah berlawanan arah putaran jarum jam.

"Pusaran angin di timur Kepulauan Mindanau diduga terjadi mulai 15 Juli 2021. kemudian semakin bergerak ke utara menjadi sejajar dengan Taiwan disertai dengan semakin menguat intensitas pusarannya. Pada 20 Juli 2021, pusaran angin tersebut menjadi Siklon Tropis in-fa," ujar Widodo.

Pertemuan angin juga terjadi di Laut China Selatan yang posisinya di antara Guangzhou dan Ujung utara dari Kepulauan Mindanau. Pertemuan tersebut juga membangkitan angin yang berpusar melawan arah putaran jarum jam. Pusaran angin ini diduga mulai muncul pada 16 Juli 2021.

Data oseanografi banjir di China-KalimantanSebaran potensial siklom tropis pada 21 Juli 2021 pukul 07.00 WIB Foto: (Widodo Pranowo/Strom Prediction Center/NOAA)

Pusaran angin ini kemudian tumbuh menguat sambil bergerak menujuke arah Guangzhou, yang kemudian pada 20 Juli 2021 menjadi Siklon Tropis Cempaka.

"Pusat Riset Kelautan, Badan Riset dan SDM, Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan menggandeng BMKG, pada tahun 2009-2013, pernah melakukan riset kolaborasi dengan The First Institute of Oceanography (FIO) China, dengan judul riset bernama Monsoon Onset Monitoring and Its Social-Economy Impact (MOMSEI)," jelasnya.

Riset tersebut menggunakan Kapal Riset Latih Madidihang 3 milik Badan Riset dan SDM KKP. Di sana KKP memantau dan mengukur variabilitas dan anomali suhu permukaan laut di Samudera Hindia Barat Sumatra dan Selatan Jawa-Bali.

"Hipotesa dari riset MOMSEI adalah bahwa anomali panas suhu permukaan laut sekitar 0,5 derajat Celsius akan berpotensi membangkitan anomali angin, yang kemungkinannya secara sistemik bisa membangkitkan siklon tropis pembawa banjir ke China," ujarnya.

Hipotesa dan riset tersebut dilakukannya pada 2009-2013. Ternyata fakta kejadian banjir di China akibat siklon tropis kita saksikan pada 21 Juli 2021.

"Pelajaran yang bisa kita dapatkan adalah riset kelautan terkait interaksi laut-atmosfer adalah sangat penting. Memang tidak bisa dihitung secara matematis antara investasi yang dikeluarkan dan keuntungan rupiah riil yang didapatkan seperti ketika mandapatkan royalti dari penjualan paten hasil riset," tuturnya.

Namun adanya riset ini akan membantu kita untuk lebih mengenal karakter laut-atmosfer. Sehingga pemerintah dapat mengambil kebijakan yang tepat untuk membantu masyarakat.



Simak Video "Video: Momen Bulan Purnama Mencapai Titik Terendah di Langit China"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads