Industri perhotelan masih terus mencoba untuk bertahan hidup. Kerja keras banting tulang, namun kenyataan pahit bagai mimpi buruk yang tak usai.
Hal ini dikatakan secara gamblang oleh Ketua Badan Pengurus Daerah (BPD) Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sutrisno Iwantono dalam Webinar Industri Pariwisata dengan tema Bertahan dimasa Pandemi, Rabu (28/7). Menurutnya pandemi membuat sektor pariwisata terguncang.
"Dunia mengalami keterpurukan. Pengeluaran belanja turis mengalami penurunan sebanyak 74,4 persen, jadi sisanya hanya sekitar 26 persen, ini data global dari UNWTO," ucapnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelum pandemi, pariwisata memiliki pertumbuhan tinggi dari angka global. Sementara saat ini, pariwisata jauh lebih buruk dari sektor global lainnya.
"Ada dua cara yang digunakan para pelaku hotel, yaitu bersaing secara harga dan satu lagi bersaing memberikan fasilitas," ungkapnya.
Sutrisno mengatakan bahwa kesehatan menjadi hal yang penting. Sehingga piak hotel berlomba-lomba memberikan kesehatan, kebersihan, keamanan dan lingkungan itu yang disebut CHSE. Yang kedua adalah fleksibilitas.
"fleksibilitas itu artinya kita harus fleksibel, contohnya tiba-tiba ada PPKM darurat, padahal hotel sudah kontrak untuk wedding, meeting. Hotel harus bisa mengembalikan uang yang kita terima, walaupun sangat sulit karena uang itu sudah kita pakai," ungkapnya.
Adaptasi lain masih juga dilakukan pihak perhotelan guna memperpendek mimpi buruk. Sebut saja digitalisasi check-in dan less contact.
"Ini selalu diomongkan seluruh dunia. namun ini enggak mudah karena investasinya luar biasa gedenya, sedangkan kita untuk hidup saja sudah tidak bisa," keluhnya.
Investasi digital untuk meningkatkan pemesanan, online, baik itu website sendiri atau pihak ketiga itu sudah dilakukan oleh pihak hotel. Demikian juga pemasaran digital mandiri yang dianggap akan efektif mencapai target.
PHRI bahkan sudah mencoba untuk melakukan sinergi dengan bisnis lain, seperti AirAsia. Namun tetap saja, hal ini tidak banyak membantu.
Semakin ke sini, banyak hotel yang mengubah konsep staycationnya. Konsep workcation alias memberi fasilitas kerja dengan bayaran per jam mulai marak dilakukan.
"Tamu asing di Jakarta tinggal 3,9 persen itu pun umumnya di hotel bintang 5 dan bintang 3. Hotel bintang 1 cuma dapat 3 persen. Sementara hotel nol bintang enggak dapat apa-apa," jelasnya.
Di Jakarta itu sendiri ada 991 hotel yang terdaftar yang terbagi menjadi 397 hotel bintang dan 594 hotel non bintang. Sementara jumlah hotel yang terbesar itu Jakarta Pusat.
"Terus siapa yang mau nginep di Jakpus kalau nggak ada tamu dari luar dan disekat-sekat? Tamu enggak ada!" ujarnya.
Iwan mengatakan bahwa jika hotel tak dapat berinvestasi lebih besar karena tak adanya pemasukan. Semua hal telah dicoba namun juga tak memberi hasil.
"Di Jakarta itu ada 4,9 juta pekerja, 10 persennya itu ada di akomodasi makanan dan minuman. ini bisa menghasilkan masalah sosial yang serius di DKI karena kontribusinya sangat tinggi.
"Karena prakteknya enggak ada tamu, orang mau datang kan kalau aman. Tapi tingkat kematian di Indonesia ini tinggi. Intinya vaksin menjadi titik penting," tutupnya.
(bnl/ddn)
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum