Warlok Curhat Danau Toba yang Dulu Beda Banget dengan Sekarang

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Warlok Curhat Danau Toba yang Dulu Beda Banget dengan Sekarang

Putu Intan - detikTravel
Kamis, 27 Apr 2023 07:07 WIB
Keramba jaring apung di Danau Toba
Keramba jaring apung Danau Toba. Foto: Rifkianto Nugroho/detikcom
Jakarta -

Danau Toba yang dulu bukanlah yang sekarang. Danau Toba yang lingkungannya asri, kini perlahan rusak.

Danau Toba merupakan danau vulkanik terbesar di dunia. Danau yang terletak di Sumatera Utara itu memiliki panjang 100 kilometer dengan lebar 30 kilometer serta kedalaman 505 meter.

Danau Toba terbentuk dari letusan Gunung Toba puluhan ribu tahun silam. Letusan yang begitu dahsyat itu bahkan hampir memusnahkan manusia. Namun setelahnya, banyak orang di Danau Toba juga merasakan manfaat dari kekayaan alamnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Aktivis lingkungan yang aktif menyuarakan kelestarian Danau Toba, Togu Simorangkir, memaparkan bahwa lingkungan Danau Toba yang subur banyak dimanfaatkan masyarakat untuk bertani. Selain itu, ikan-ikan di Danau Toba juga ditangkap nelayan untuk dikonsumsi sendiri ataupun dijual.

Ditemui detikTravel di kediamannya di Desa Silulu, Simalungun, pada medio Februari lalu, Togu juga bercerita pemandangan yang cantik dan udara sejuk membuat banyak orang suka berwisata ke Danau Toba. Bahkan, mereka kerap menikmati air yang bersih dengan berenang di sana.

ADVERTISEMENT

"Kalau waktu kecil, aku itu ya bebas berenang. Kita minum air langsung dari Danau Toba, enak. Udaranya dingin," Togu Simorangkir mengenang.

"Tapi kalau sekarang kita berenang di Danau Toba, sudah tidak nyaman. Gatal. Sudah banyak lintah. Belum lagi kalau ke Samosir, dulu harus pakai celana panjang dan jaket. Sekarang pakai celana pendek dan kaos saja sudah cukup," dia menambahkan.

Togu SimorangkirTogu Simorangkir. Foto: Putu Intan/detikcom

Menurut Togu, perubahan ini terjadi karena penurunan kualitas lingkungan hidup di Danau Toba. Munculnya perusahaan-perusahaan yang merusak lingkungan menjadi salah satu penyebabnya.

"Yang tadinya hutan alam, saat ini di Danau Toba ada perusahaan bubur kertas yang mainnya di monokultur eukaliptus. Jadi hutan ekosistem yang dari heterogen menjadi homogen itu kan membuat mahkluk hidupnya semakin tidak ada," kata pria berusia 47 tahun itu.

Pria yang pernah bekerja di tempat pelestarian orang utan itu juga mengatakan bahwa dulunya ada orang utan di Danau Toba. Hanya saja karena perubahan lingkungan, satwa langka itu sudah tak ditemukan lagi di sana.

"Dulu orangutan sebarannya masih sampai sekitar Danau Toba. Saat ini sudah tidak ada lagi orangutan di sekitaran Danau Toba. Jadi sudah terfragmentasi habitat-habitatnya, terkotak-kotak dan akhirnya banyak satwa yang terisolir. Jadi Danau Toba itu saat ini sudah tidak nyaman," ujar dia.

Berangkat dari kegelisahan ini, Togu bersama rekan-rekannya sempat dua kali melakukan aksi jalan kaki dari kawasan Danau Toba ke Jakarta. Dia sudah dua kali bertemu dan berbincang langsung dengan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mengenai kerusakan di Danau Toba.

Togu melihat, usaha pemerintah dengan menetapkan Danau Toba sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) sebagai langkah positif untuk kemajuan Danau Toba. Hanya saja, kegiatan yang merusak alam masih saja terjadi.

"Jadi apa gunanya pemerintah pusat menggelontorkan uang untuk Danau Toba membangun pariwisata tapi aktivitas merusak lingkungan hidup masih terus berjalan," katanya.

Hamparan air Danau bewarna biru menjadi pemandangan apik saat berkunjung ke Tanah Batak. Pohon pinus yang menjulang tinggi menambah segarnya udara di sekitarnya.Danau Toba. Foto: ANTARA FOTO/NOVA WAHYUDI

Selain itu, Togu juga menjelaskan bahwa pemerintah sering melakukan aksi tanam pohon di Danau Toba. Sayangnya, pepohonan itu tidak dirawat dengan baik sehingga terkesan sia-sia saja. Togu berharap, pemerintah punya langkah konkrit untuk mengatasi kerusakan lingkungan di Danau Toba tersebut.

"Ketika pemerintah mau fokus ke pariwisata, aktivitas merusak lingkungan dan pariwisata ini tidak bisa sejalan. Pemerintah harus memilih pendapatan negaranya dari mana? Mau dari pariwisata atau dari perusahaan yang merusak lingkungan?" ujarnya.

Belum lagi, menurut Togu, saat ini pariwisata di Danau Toba juga belum mensejahterakan masyarakat lokal. Pasalnya, banyak hotel dan resort yang hanya berjalan sendiri tanpa melibatkan masyarakat Danau Toba yang kebanyakan bergerak di bidang pertanian.

"Potensi Danau Toba itu sebenarnya pertanian tapi kenapa tidak itu yang diprioritaskan pemerintah? Kalau pertanian bagus, masyarakat sejahtera dan bisa mensuplai hotel dan restoran sekitar Danau Toba. Mereka juga bisa jadi objek wisata sendiri, misalnya petik jeruk atau stroberi. Jadi jangan infrastruktur melulu yang dibangun, budaya dan pertanian juga bisa menghasilkan kalau dijual," kata dia.

Pada akhirnya, Togu berharap Danau Toba yang eksis saat ini dapat memberikan manfaat yang maksimal untuk masyarakat di sana. Jangan sampai, dengan berkembangnya pariwisata di Danau Toba, lingkungan semakin rusak dan masyarakat tak dapat apa-apa.

"Membangun Danau Toba tidak semata-mata investasi mendatangkan investor tapi bagaimana masyarakat lokal juga menjadi pelaku utama. Segala sesuatu itu dikomunikasikan dan apa yang mereka inginkan difasilitasi negara," kata dia.




(pin/fem)

Hide Ads