Berkaca dari Kasus Alshad, UU Konservasi Dinilai Ketinggalan Zaman

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Berkaca dari Kasus Alshad, UU Konservasi Dinilai Ketinggalan Zaman

Putu Intan - detikTravel
Selasa, 01 Agu 2023 11:15 WIB
Seekor harimau Sumatra  (Panthera tigris sumatrae) yang diberi nama Bayu berusaha menggapai makanan yang diberikan untuknya dalam Peringatan Hari Harimau Sedunia di Jatim Park 2, Batu, Jawa Timur, Rabu (29/7/2020). Kegiatan tersebut diadakan untuk memberikan dukungan pada program perlindungan habitat dan konservasi harimau agar terhindar dari kepunahan. ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto/aww.
Foto: ANTARA FOTO/ARI BOWO SUCIPTO
Jakarta -

Kematian anak harimau Benggala milik Alshad Ahmad membuka tabir eksploitasi satwa di Indonesia. Undang-undang terkait konservasi satwa pun dinilai sudah kuno.

Eksploitasi satwa liar selalu dikaitkan dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem (KSDAHE). Sejumlah pakar menilai undang-undang itu sudah ketinggalan zaman dan tidak relevan dengan situasi terkini.

Pada kenyataannya, perburuan dan perdagangan satwa liar menggunakan modus yang terus berkembang. Begitupun dengan kondisi habitat satwa, seperti hutan dan sungai yang kian menyempit dan rusak.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Peneliti dan Akademisi Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, Rheza Maulana, mengatakan undang-undang konservasi yang digunakan Indonesia seharusnya mengikuti perkembangan ilmu. Saat ini, dunia internasional sudah sampai pada tahap melarang perburuan dan perdagangan satwa karena dikhawatirkan akan menyebabkan pandemi.

"United Nations Environment Programme membuat publikasi berjudul Preventing The Next Pandemic. Kesimpulannya, sekarang ada Emerging Infectious Desease (EID) atau penyakit menular yang akan muncul. Pencentusnya apa? Pedagangan satwa liar," kata Rheza kepada detikTravel, Sabtu (29/7/2023).

ADVERTISEMENT

Rheza juga menjelaskan dalam dokumen tersebut dengan gamblang disebutkan bahwa satwa liar legal dan ilegal dapat menyebabkan atau menjadi perantara kemunculan penyakit menular. Saat ini, soal itu memang belum muncul di UU namun bila kegiatan eksploitasi satwa itu terus dilakukan maka dampak pandemi seperti COVID-19 berpotensi mempengaruhi kesehatan manusia.

"Jadi kita harusnya bukan bicara legal dan ilegal lagi. Tapi, kalau satwa liar diperdagangkan itu bisa bikin pandemi dan kita sudah merasakan pandemi COVID-19," ujarnya.

Rheza pun mendesak perubahan undang-undang konservasi yang sesuai dengan perkembangan ilmu. Jika terus bergantung pada undang-undang lama, masyarakat juga yang akan rugi.

"Mungkin tahun 1990 satwa liar masih banyak. Saat itu juga pandemi belum marak seperti sekarang. Ini harus ada penyesuaian undang-undang. Nggak bisa kita seolah tidak ada apa-apa," kata dia.

Sementara itu, saat ini RUU KSDAHE tengah digodok DPR. Prosesnya memakan waktu lama karena sejak diusulkan untuk diperbarui pada 2016, RUU itu belum juga rampung hingga kini.

Di sela-sela pembahasan itu, masyarakat juga mengkritik isi RUU yang belum maksimal. Pemerhati konservasi menilai pemerintah perlu melibatkan masyarakat dalam konservasi. Apalagi, banyak wilayah konservasi yang juga menjadi ruang hidup masyarakat adat.




(pin/fem)

Hide Ads