Siapa sangka Masjid Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta dibangun di bekas pemakaman Tionghoa. Cek faktanya.
Ketua Takmir Masjid Kampus UGM, Rizal Mustansyir (69), mengatakan sebelum UGM mempunyai masjid kampus, mahasiswa menunaikan salat di area Gelanggang Mahasiswa.
"Dulu kita salatnya itu di gelanggang, karena belum ada masjid. Itu sekitar tahun 1976-1977. Jadi ya ada olahraga, nanti pas waktunya salat berhenti olahraga ya kita salat, jumatan juga di situ. Saya sudah (di UGM) tapi kan saya masih mahasiswa, jadi saya salat tu di situ. Ngalamin (langsung), lama kita nggak punya masjid," kata Rizal saat ditemui di Kantor Takmir Masjid Kampus UGM, Selasa (21/11/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akhirnya, muncul ide dari Prof Koesnadi Hardjasoemantri yang kala itu menjabat Rektor UGM untuk membuat masjid kampus dan memilih lokasi yang saat itu digunakan sebagai makam Tionghoa. Dipilihnya lokasi tersebut karena dianggap luas, strategis, dan dekat dengan gerbang kampus.
Hambatan Selama Pembangunan Masjid Kampus UGM
Namun, karena lahan tersebut milik Sultan, maka kampus UGM disyaratkan untuk mengganti tanah dan memindahkan makam ke area lain. Konon katanya, ada sekitar 1.400 makam yang berada di lahan tersebut.
"Tapi ternyata itu Sultan Ground, milik Sultan. Prof Koesnadi waktu itu melakukan pendekatan (ke pihak Keraton Jogja), diserahkan kepada kami, tetapi dengan syarat ada tukar guling untuk membongkar kuburan China itu, ada 1.400 kuburan itu. Lalu, terjadi proses mencari ahli warisnya itu. Nah, kayaknya dalam catatan sejarah ahli warisnya yang ngaku 400-an, jadi tukar guling kita," kata Rizal kepada detikJogja.
Sesuai kesepakatan, kemudian perwakilan UGM memindahkan makam-makam tersebut ke daerah Piyungan.
"Kita punya tanah di Piyungan, agak tinggi ya (lokasi pemakaman), mungkin orang-orang Chinese suka kan makam di tinggi-tinggi itu kan, nah tukar sana, sini kosong lalu dikembangkan lah (Maskam UGM)," kata dia.
Lalu pada 1998, proses pembangunan masjid dimulai dengan peletakan batu pertama sebagai pertanda dimulainya pembangunan. Proses peletakan batu pertama ini terjadi tepat ketika Presiden Soeharto lengser karena reformasi.
"Pas reformasi ini peletakan batu pertama itu 21 Mei 1998," ujar Rizal.
Rizal bercerita bahwa pembangunan masjid kampus UGM berlangsung lama, yaitu sekitar 4 tahun karena keterbatasan dana.
"Kalau yang diresmikan itu pas Dies Natalis itu ya, kira-kira jadinya itu ya mungkin sekitar tahun 2000-an 2002 apa ya, 2002, empat tahun. Lama lah karena kita dananya terbatas kan," kata pria yang juga dosen Filsafat UGM tersebut.
Arsitektur Bangunan yang Memadukan Kebudayaan China-Jawa-Timur Tengah
Menurut Rizal, arsitektur bangunan Maskam UGM ini mengusung gaya post-modern dengan memadukan pola kebudayaan China, Jawa, dan Timur Tengah.
"Ini polanya kalau saya melihat ini itu gaya post modernisme ya, Jadi ada pola Timur Tengahnya, ada pola Chinanya juga kan, tapi ada pola Jawanya juga ya, kearifan lokalnya ada, jadi mix ya, mix itu kan gaya post modern ya," kata Rizal.
Dengan konsep arsitektur bangunan yang sedemikian rupa, membuat Maskam UGM dinyatakan sebagai salah satu masjid yang aman ketika pandemi COVID-19.
"Tidak ada dinding, terbuka, dan itu sangat sekali membantu kita ketika pandemi, satu masjid yang di UGM yang diperbolehkan salat jumat karena kita dinilai terbuka tidak ada AC, tidak ada kipas angin kan jadi nggak menularkan," kata dia.
Untuk kapasitasnya, Maskam UGM mampu menampung lebih dari 1.000 jamaah masjid. Masjid ini terdiri dari dua tingkat bangunan.
"Kita bisa lebih dari 10.000 ya, kita kan tingkat dua kalau jamaah yang biasa itu kan putri ya, dia di atas, tapi kalau yang agak senior misalnya ibu-ibu ya di bawah boleh kita kasih. Tapi, kalau jumatan bisa lebih dari 10.000," dia menegaskan.
'Masjid Kampus UGM' Jadi Nama Masjid
Uniknya hingga saat ini Maskam UGM tidak memiliki nama yang spesifik. Mahasiswa hingga masyarakat sekitar lebih mengenal masjid tersebut dengan nama Masjid Kampus UGM karena dianggap lebih praktis dan ikonik.
"Jadi kita nggak punya nama, ada banyak usul, ada yg memberi nama Solehudin apa segala macam tapi mental semua karena kenapa ya, nampaknya enak juga kita menyebut Maskam UGM, lebih praktis ikonik ya. Jadi, no problem itu. Akhirnya, ada pembiaran yang nampaknya udah akrab dengan nama Maskam UGM itu," ujar dia.
"Jangan-jangan dikasih nama Solehudin orang bingung di mana ini salatnya. Apalah arti sebuah nama, yang penting kegiatannya jalan ya," ujarnya kemudian tertawa.
Baca juga: Pantai Sekitar Bandara YIA akan Ditata Ulang |
_____________
Baca artikel selengkapnya di detikJogja
(wkn/fem)
Komentar Terbanyak
Penumpang Hilang HP di Penerbangan Melbourne, Ini Hasil Investigasi Garuda
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol