Aktivitas ngabuburit ternyata telah mengakar kuat di tradisi masyarakat Indonesia. Beginilah aktivitas unik yang dilakukan warga Bandung saat itu kalau ngabuburit.
Ngabuburit telah menjadi tradisi masyarakat di Indonesia. Semula, dilihat dari akar katanya 'burit' yang berarti sore menjelang petang, tradisi ngabuburit berasal dari tanah Priangan. Kata 'ngabuburit' berarti berkegiatan menunggu waktu burit.
Jika sekarang sedang viral ngabuburit dengan kegiatan berburu kudapan takjil, bahkan warga yang bukan pemeluk Islam pun ikut memeriahkan perburuan makanan untuk berbuka puasa itu, ngabuburit pada awalnya justru hanya sekedar duduk-duduk menikmati sore di tanah lapangan seperti Alun-alun atau ngurek, mencari belut dengan seutas benang nilon berkail.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Demikian juga yang dilakukan oleh masyarakat di Bandung pada awal abad ke-20. Diceritakan, terutama kaum laki-laki, mereka keluar rumah pada sore hari dengan membawa sarung dan berkalung handuk. Mereka menuju Alun-alun Bandung.
Apa saja kegiatan ngabuburit masyarakat di Bandung mulai tahun 1900-an itu? detikJabar merangkumnya dalam artikel ini. Simak yuk:
1. Menyelam di Leuwi Pajati
Masyarakat di Kota Bandung pada awal abad ke-20 masihlah bersahabat dengan alam. Karenanya, kondisi sungai terjaga kebersihannya. Di sungai, sering ada area yang lebih dalam dari dasar sungai lainnya. Area yang dalam itu dinamai Leuwi.
Pada area leuwi, sering ada ikan bergumul. Menyelam di leuwi, boleh dipastikan akan selalu bersentuhan dengan ikan yang bisa ditangkap, dibawa pulang, dan dikonsumsi.
Di bawah Viaduct, ada Leuwi Pajati. Jika sore pada bulan Ramadhan, masyarakat sering datang ke sini untuk mandi dan yang bisa menyelam, akan menyelam sambil menangkap ikan.
![]() |
Muhamad Fajar N, Sulasman, dan Usman Supendi dalam Historia Madania, Vol. 2, No. 2, 2018 mengutip deskripsi Haryoto Kunto (1996) bahwa ketika bulan puasa bakda Ashar, ramai orang mandi atau ngabuburit ke Leuwi Pajati.
"Selain mandi-mandi, lubuk di bawah Viaduct itu, airnya jernih dan banyak ikannya. Mereka yang pandai menyelam, terkadang berhasil menangkap udang kecil, berbagai macam ikan, seperti deleg, beunteur, bogo, dan tawes. Lumayan dibawa ke rumah untuk lawuh berbuka puasa," tulisnya.
2. Mandi Sore di Sumur Bor
Pada awal abad ke-20, pengelola Kota Bandung membuat sumur bor untuk masyarakat. Sebelumnya, masyarakat bergantung pada aliran air sungai, sebab untuk menggali sumur, perlu penggalian yang dalam sebelum air tanah keluar.
Dengan adanya sumur bor, maka lambat laun masyarakat beralih ke penyediaan air bersih itu, meski untuk mendapatkan air itu, masyarakat harus membayar.
Sumur bor yang disediakan bagi masyarakat Kota Bandung dibangun di depan Kantor Pos (Alun-alun), di belakang Gubernuran (Cicendo), depan Kelenteng (Ciroyom), kemudian di simpang Jalan Merdeka-Riau, dan satu lagi di muka Sakola Menak, Tegalega.
"Dengan membayar uang logan satu sen, orang bisa mendapatkan air bersih untuk minum, masak dan mandi. Pada lokasi sumur bor itu terdapat pemandian umum yang terpisah buat pria dan wanita. Mungkin Karen orang Bandung terkenal suka berseka, cinta kebersihan, keindahan dan kesehatan, maka mandi di sumur bor sempat jadi mode kala itu," tulis Muhammad Fajar N, dkk.
3. Duduk-duduk di Bawah Wilhelmina-Juliana Boom
Karena banyak dibuatkan sumur bor berikut pemandian umumnya, kaum lelaki pada sore-sore pergi ke pemandian umum. Mereka mandi di tempat itu. Sebelumnya, dari rumah, mereka keluar dengan membawa sarung dan mengalungkan handuk di leher.
Di antara yang banyak dikunjungi masyarakat pada sore hari saat bulan puasa adalah sumur bor di Kantor Pos. Kaum lelaki mandi dengan tujuan selesai mandi, mereka akan ngabuburit di Alun-alun. Mereka duduk-duduk di bawah beringin Alun-alun.
"Jadi bukan pemandangan yang aneh bila bakda Ashar pada bulan puasa, kaum pria keluar rumah membawa sarung dan berkalung handuk menuju Alun-alun. Dapat dipastikan mereka akan mandi di sumur bor dekat Kantor Pos, lalu ngabuburit dengan duduk-duduk di bawah Wilhemina dan Juliana Boom. Yakni, sepasang pohon beringin yang ditanam di Alun-alun Bandung untuk memperingati ratu Belanda," tulis jurnal itu.
4. Bermain Layangan dan Sepak Bola
Jika selesai mandi di sumur bor, masyarakat duduk-duduk di Alun-alun Bandung. Mereka duduk sambil menyaksikan keramaian di sekitarnya. Ada banyak anak-anak bermain di situ. Anak-anak bermain banyak hal, ada yang menerbangkan layangan hingga bermain sepak bola.
Dengan ngabuburit ini, menunggu waktu berbuka puasa menjadi tak terasa.
"Sambil leha-leha di bawah pohon, mereka mengamati anak-anak yang ngadu layangan, main bola, dan terkadang di Alun-alun ada pertunjukan balon gas. Tanpa terasa, sebentar saja waktu berbuka puasa telah tiba," tulis Muhammad Fajar N, dkk.
5. Ngurek
Di sisi lain, masih di dekat Alun-alun, ada Sungai Cikapundung. Bantaran sungai ini disusuri kelompok-kelompok anak muda untuk mencari belut. Belut bersarang di lubang-lubang di bantaran sungai, di sawah, atau di selokan.
Cara mendapatkan belut adalah dengan ngurek. Ngurek sebenarnya merujuk pada aktivitas memilin seutas benang nilon yang di ujungnya terdapat kail berumpan cacing yang disebut 'urek'. Pilinan itu mengandalkan jempol dan telunjuk. Gerakannya seperti memainkan bulu unggas ke lubang telinga.
__________
Baca artikel selengkapnya di detikJabar
(wkn/ddn)
Komentar Terbanyak
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol
Tragedi Juliana di Rinjani, Pakar Brasil Soroti Lambatnya Proses Penyelamatan