Jepang dilanda krisis kependudukan. Hal itu membuat banyak rumah-rumah kosong hingga angkanya menyentuh 9 juta.
Melansir Sora News, Sabtu (4/5/2024), rumah kosong di Jepang dikenal dengan akiya. Itu kombinasi dari aki (kosong) dan ya (rumah). Akiya mengacu pada rumah yang tidak berpenghuni tetap.
Kendati memiliki masalah kependudukan, sebenarnya beberapa kota-kota besar di Jepang memiliki kepadatan yang tinggi. Minggu ini, Kementerian Dalam Negeri dan Komunikasi Jepang merilis hasil Survei Statistik Perumahan dan Tanah yang dilakukan setiap lima tahun sekali. Dan mereka menyebut ada sembilan juta akiya di jepang.
Sembilan juta akiya tersebut menunjukkan peningkatan sekitar 510 ribu akiya sejak survei terakhir lima tahun lalu, atau dua kali lipat dari 30 tahun lalu.
Statistik yang lebih mencengangkan dari laporan itu adalah 3,85 juta di antaranya merupakan rumah yang ditinggalkan. Angka itu setara 5,9 persen dari unit rumah di Jepang.
Adapun akiya termasuk rumah liburan yang digunakan untuk keluarga di momen liburan atau rumah yang sudah selesai dibangun tetapi belum terjual. Sedangkan rumah 'hochi akiya' adalah benar-benar rumah tak berpenghuni dan tidak dijual atau digunakan untuk keperluan lain.
Berikut ini data terkait jumlah rumah yang ditinggalkan di Jepang
1978: 980,000
1983: 1,250,000
1988: 1,310,000
1993: 1,490,000
1998: 1,820,000
2003: 2,120,000
2008: 2,680,000
2013: 3,180,000
2018: 3,490,000
2023: 3,850,000
Lalu, mengapa situasi itu bisa terjadi? Jawaban yang paling terlihat adalah karena populasi Jepang yang menua dan tingkat kelahiran menurun. Lebih sedikit orang artinya sedikit permintaan total untuk rumah.
Selain itu, tren keluarga yang lebih kecil membuat menurunnya permintaan rumah dari generasi sebelumnya yang besar. Adapun di generasi sebelumnya, biasanya keluarga terdiri dari orang tua dan beberapa anak, dan bahkan kakek-nenek yang tinggal bersama.
Sementara itu, di beberapa generasi terakhir di Jepang, terlihat tanda migrasi penduduk yang terus berlanjut dari desa ke kota-kota besar. Itu terlihat juga dari beberapa prefektur pedesaan yang memiliki data lebih dari 10 persen rumah yang ditinggalkan.
Kemungkinan besar banyak anggota dari beberapa generasi terakhir yang lahir di sana pindah untuk mengejar peluang pendidikan dan profesional yang tidak tersedia di kampung halaman. Sebagai contoh, tiga dari delapan prefektur teratas adalah prefektur di Shikoku, satu-satunya dari empat pulau utama Jepang yang tidak memiliki satu pun stasiun Shinkansen.
Persentase tertinggi dari rumah yang ditinggalkan / hochi akiya (dibandingkan dengan total unit rumah)
Kagoshima: 13,6 persen
Kochi: 12,9 persen
Tokushima: 12,2 persen
Ehime: 12,2 persen
Wakayama: 12 persen
Shimane: 11,4 persen
Yamaguchi: 11,1 persen
Akita: 10 persen
Sementara itu, ibu kota Tokyo memiliki presentase terendah untuk rumah yang ditinggalkan, yakni 2,6 persen. Namun, prefektur lain dengan pusat perkotaan juga banyak memiliki rumah yang ditinggalkan seperti Kanagawa (3,2 persen), Aichi (4,3 persen), serta Osaka, Fukuoka, dan Miyagi yang semuanya berada di angka 4,6 persen.
Namun, bagi traveler yang ingin bermukim dan membeli rumah untuk liburan di Jepang sebaiknya berpikir ulang. Pasalnya, kondisi rumah-rumah ditinggalkan itu cukup mengkhawatirkan. Banyak pihak khawatir akan potensi risiko keselamatan dari rumah-rumah yang ditinggalkan, seperti saat gempa bumi, topan, atau longsor.
Menurut laporan tersebut, rumah-rumah yang ditinggalkan bertahun-tahun tanpa penghuni dan tidak terawat. Itu menyebabkan sekitar 20 persen dari rumah-rumah tersebut rusak atau membusuk dan tidak layak huni tanpa perbaikan. Diprediksi rumah-rumah yang ditinggalkan di Jepang akan terus meningkat kedepannya.
Simak Video "Video Gol Demi Gol Jepang Bikin Indonesia Kocar-kacir"
(wkn/wkn)