Puncak Jayawijaya, dengan salju abadi yang ikonik, berada di ambang tragedi ekologis. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan bahwa lapisan es tersebut punah pada 2026. Lenyapnya es itu bukan hanya kehilangan simbol alam, tetapi juga bukti nyata ancaman global.
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, mengungkapkan bahwa mencairnya es abadi di Puncak Jayawijaya adalah dampak langsung dari perubahan iklim. Dia menambahkan bahwa fenomena serupa juga menghantui Pegunungan Himalaya, rumah bagi puncak tertinggi dunia, Gunung Everest.
Pemicu utama perubahan iklim ini adalah peningkatan gas rumah kaca akibat pembukaan lahan hutan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Hutan-hutan di Papua mulai terbuka, melepaskan karbon dioksida yang mempercepat kenaikan suhu permukaan," kata Dwikorita dalam Youtube Info BMKG, Senin (24/3/2025).
Baca juga: 7 Fakta Gunung Carstensz di Tanah Papua |
Upaya pemantauan penyusutan es abadi di Puncak Jayawijaya dilakukan sejak 2010, melalui kerja sama BMKG dan PT Freeport Indonesia. Tim peneliti memasang stake berupa potongan pipa yang terhubung tali, untuk mengukur perubahan ketebalan es secara berkala.
- 2010: Ketebalan es tercatat 32 meter.
- November 2015 - Mei 2016: Ketebalan es menyusut drastis menjadi 5,6 meter.
- 2024: Luas es yang tersisa hanya 0,11-0,16 kilometer persegi, menyusut dari 0,23 kilometer persegi pada 2022
Awalnya, pemantauan dilakukan langsung hingga Puncak Sudirman. Namun, sejak 2017, keterbatasan akses membuat tim peneliti mengandalkan pemantauan visual dari udara.
Data-data ini menjadi bukti nyata percepatan penyusutan 'es abadi' Puncak Jayawijaya. Fenomena ini bukan hanya kehilangan keindahan alam Indonesia, tetapi juga peringatan serius akan dampak perubahan iklim yang semakin nyata.
(fem/fem)
Komentar Terbanyak
Penumpang Hilang HP di Penerbangan Melbourne, Ini Hasil Investigasi Garuda
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Ada Apa dengan Garuda Indonesia?